Sabtu, 01 Desember 2012

Shara lin

Membuat Logo Dengan Coreldraw






Cara membuat logo dengan coreldraw ataupun membuat logo dengan illustrator dengan format vector sangat dianjurkan. Format vektor seperti kita ketahui sangat cocok untuk membuat karya desain grafis yang menuntut tidak adanya perubahan warna dan bentuk ketika diperbesar atu diperkecil ukurannya. Berbeda dengan format bitmaps atau raster yang akan berubah titik warna dan kadang blur ketika proses tranformasi.

Karena kita mencontoh atau membuat logo yang sudah ada sebelumnya maka saya kategorikan tutorial ini pada tutorial coreldraw tingkat dasar. Anda akan belajar bagaimana cara menggunakan tool shape, gradasi, marquee tool dan pemilihan warna gradasi multiple point.
1. Buat dokumen baru dengan ukuran kertas 100 mm x 100 mm
2. Ubah opsi dengan setting berikut
a. tekan menu edit > view grid untuk menampilkan grid
b. Ubah preferensi dengan cara tekan tombol keyboard CTRL + J atau tekan menu Tool > Options
c. Pada documents > grid pilih opsi spacing dengan ukuran 5 mm, tekan OK.
3. Buat lingkaran dengan tool ellipse tool ( F7 ) pastikan anda menekan tombol CTRL pada keyboard agar ukuran menjadi simetris. Posisikan lingkaran tersebut pada tengah-tengah area kerja dengan memilih lingkaran tersebut dan tekan tombol P pada keyboard. Jika ukuran tidak sesuai dengan area kerja ubah pada property bar object size width dan height 100 mm
create logo with corel
4. Warnai lingkaran tersebut dengan interactive fill tool ( G ) melalui klik dan drag. Pilih type gradasi adalah radial. Untuk memunculkan opsi fountain fill gunakan tool fountain fill ( F11 ).
create logo with coreldraw
5. Buat lingkaran lagi dengan opsi sebagai berikut. Bila kedua lingkaran tidak sesuai maka pilih lingkaran baru dan pilih lingkaran pertama dengan menekan tombol CTRL + klik, setelah itu tekan tombol keyboard C kemudian tekan tombol keyboard B. Untuk menghilangkan garis tekan klik kanan pada warna none ( ikon bintang paling atas pallete warna ).
tutorial create logo
6. Buat lingkaran ketiga dengan opsi berikut
membuat logo dengan corel
7. Copy dan paste lingkaran pertama yang kita buat dengan cara klik kanan copy dan klik kanan paste. Buat lagi satu lingkaran di atasnya dengan opsi sebagai berikut.
logo tutorial coreldraw
8. Setelah lingkaran terakhir sesuai dengan gambar di atas, copy lingkaran tersebut
9. Pilih dua lingkaran terakhir menggunakan CTRL + KLIK dan klik tombol combine ( CTRL + L )
tutorial coreldraw
10. Dengan pick tool ( tool paling atas ) double klik lingkaran yang sudah di combine sehingga tool berubah menjadi shape tool. Ubah lingkaran yang ada di tengah menjadi seperti gambar berikut.
belajar coreldraw
11. Paste lingkaran yang sudah Anda copy sebelumnya ( no 8 ) dan lakukan combine seperti cara 9
free logo tutorial coreldraw
12. Dengan pick tool ( tool paling atas ) double klik lingkaran yang sudah di combine sehingga tool berubah menjadi shape tool. Ubah lingkaran yang ada di tengah menjadi seperti gambar berikut.
cara membuat logo dengan coreldraw
13. Hilangkan garis pada objek terakhir dengan cara klik kanan pada pallete warna none. Warnai objek tersebut sesuai dengan aturan opsi sebagai berikut.
membuat logo dg coreldraw
14. Buat 3 lingkaran sesuai opsi dibawah dan beri warna putih. Putar ketiga lingkaran tersebut menjadi 45 derajad.
tutorial dasar coreldraw
15. Hasilnya
membuat logo dengan coreldraw
Selamat Mencoba

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN



PEMBAHASAN

A. Pengaturan dan Pengertian Perjanjian pada Pasal 1313

Pengaturan tentang perjanjian dapat di temui dalam Buku III Bab II Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Menurut Abdulkadair Muhammad, pengertian Perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata tersebut kurang tepat, karena ada beberapa kelemahan yang perlu di koreksi adalah sebagai berikut :[1]

1)   Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri” jadi ada konsensus antara dua pihak.

2)   Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus, dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige doad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya di pakai istilah “pesetujuan”.

3)   Pengertian perjanjian terlalu luas, pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang di atur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang di atur dalam buku III KUHPerdata sebenarnya hanya bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal).

4)   Tanpa menyebut tujuan, dalam rumusan pasal itu tidak di sebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.
Demikian juga menurut Mariam Darus Badrulzaman, dkk menyatakan : Para Sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa defenisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena yang di rumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Defenisi itu di katakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian juga tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang di atur dalam KUHPerdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III kriterianya dapat di nilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.[2]
Berdasarkan alasan yang di kemukakan di atas maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Beberapa sarjana hukum yang memberikan definisi mengenai perjanjian adalah :
a.       R Setiawan : “Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.[3]
b.      Subekti : “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.[4]
Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.[5] Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang  mengandung janji-janji atau kesanggupan yang di ucapkan atau di tulis.
Perjanjian adalah sumber perikatan di sampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian dinamakan persetujuan karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Pasal 1233 KUHPerdata disebutkan bahwa “Tiap-tiap perikatan di lahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Dengan kata lain sumber perikatan itu ialah perjanjian dan undang-undang.
Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang di kehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang diluar kemauan para pihak yang bersangkutan.[6]
Dengan demikian setelah menganalisis beberapa hal dalam beberapa pasal di Buku III KUHPerdata, mengenai hukum perikatan bahwa dapat dikatakan bahwa perikatan itu sama dengan perjanjian, perjanjian itu merupakan perbuatan hukum antara beberapa pihak, sedikitnya dua orang yang menyatakan kesepakatan untuk melakukan dan memenuhi suatu prestasi.
            Komentar, pengertian perjanjian terlalu luas, pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang di atur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang di maksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang di atur dalam buku III KUHPerdata sebenarnya hanya bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal). Pengertian pada pasal 1313 ini sangata luas sehingga dapat menimbul kan berbagai tafsir dan bermacam-macam pendapat yang berbeda-beda baik di kalangan ahli hukum maupun orang awam. Seharusnya pada pasal ini harus lah di pertegas lagi dan di perjelas lagi bahwa pasal ini merupakan tentang kebendaan, harta kekayaan dan hubungan debitor dan kreditor bukan mengenai hal lain. Seharusnya pada KUHPerdata dilakukan perubahan dan perombakan, karena pada KUHPerdata banyak yang masih bercampuran dan meletakkan pasal-pasalnya tidak sesuai dengan maksud dan tujuannya.


B.  Syarat Sahnya Perjanjian pada Pasal 1320

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah di akui dan diberi akibat hukum (legaly concluded contract).[7] Menurut pasal 1320 KUHPerdata untuk syarat sahnya suatu perjanjian di perlukan empat syarat sebagai berikut:
1.    Sepakat mereka yang mengikat dirinya,
2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
3.    Suatu hal tertentu, dan
4.    Suatu sebab yang halal.

Dua syarat pertama, di namakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau suyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif, karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.[8]
Lebih lanjut akan di uraikan satu persatu syarat-syarat perjanjian menurut ahli hukum, sebagai berikut:

1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Sepakat atau juga di namakan perizinan, seia sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang di buat. Sepakat merupakan suatu syarat yang logis, karena dalam perjanjian setidak-tidaknya ada dua orang yang saling berhadapan dan mempunyai kehendak yang saling mengisi. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga di kehendaki oleh pihak yang lainnya. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.[9] Persetujuan harus berasal dari masing-masing pihak tanpa adanya paksaan maupun adanya satu bentuk penipuan atau ketakutan (pasal 1321, 1322, dan 1328 KUHPerdata).
Paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian terang dan nyata (pasal 1324 KUHPerdata).
Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang di pakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikain rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak di lakukan tipu muslihat tersebut (pasal 1328 KUHPerdata).
Sedangkan di katakan tidak ada kehilafan apabila kehendak seseorang pada waktu membuat persetujuan tidak di pengaruhi kesan atau pandangan yang palsu. Kehilafan harus sedemikian rupa sehingga seandainya tidak khilaf mengenai hal itu, ia tidak akan menyetujuinya. “Kehilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kehilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian” (pasal 1322 KUHPerdata).

2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum.[10] Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akil balik dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.[11] Cakap berarti mengerti akan sesuatu yang di lakukan serta mengetahui dampak dari perbuatan yang di lakukannya, dengan kata lain sudah dapat mengendalikan apa yang di perbuatnya serta mampu mempertanggungjawabkannya. Pada umumnya setiap orang dinyatakan cakap untuk membuat perjanjian apabila ia oleh undang-undang tidak di nyatakan tak cakap. Hal ini diatur dalam pasal 1329 KUHPerdata. Pengecualian atas prinsip yang ada dalam pasal 1329 KUHPerdata yaitu ada dalam isi pasal 1330 KUHPerdata ditentukan orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian yaitu :

a)      Orang yang belum dewasa, dalam pasal 1330 KUHPerdata di katakan bahwa mereka yang belum genap berumur 21 tahun dan tidak menikah adalah belum dewasa. Sehingga dapat di simpulkan bahwa dewasa adalah mereka yang telah berumur 21 tahun, telah menikah termasuk mereka yang belum berusia 21 tahun, tetapi sudah menikah dan orang dewasa adalah orang yang pada dasarnya cakap untuk bertindak atau tidak dilarang oleh undang-undang. Tetapi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas kedewasaan seseorang berubah menjadi 18 tahun. Hal ini dapat di lihat dalam pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang mengatakan:

1)      Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum menikah ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak di cabut kekuasaannya.
2)      Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di luar dan di dalam pengadilan. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

b)      Mereka yang di taruh di bawah pengampuan, adalah orang yang karena sifat pribadi di anggap tidak cakap untuk bertindak sendiri di dalam lalu lintas hukum. Orang yang termasuk di bawah pengampuan adalah orang yang sakit gila atau mata gelap, orang yang lemah akal dan orang yang pemboros. Pengampuan tidak pernah terjadi demi hukum akan tetapi selalu terjadi karena adanya suatu permohonan kepada pengadilan negeri yang berada di daerah hukum di mana orang di mohonkan di taruh di bawah pengampuan berada. “Segala permintaan akan pengampuan, harus dimajukan kepada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya orang yang dimintanya pengampuannya, berdiam” (pasal 436 KUHPerdata).

c)      Orang perempuan, dalam pasal 108 KUHPerdata di katakan bahwa seseorang istri apabila hendak menghadap di muka hakim harus mendapat bantuan dari suaminya. Namun dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, maka kedudukan suami dan istri adalah sama, yang berarti seorang istri adalah cakap menurut hukum. Hal ini di atur dalam pasal 31 ayat (1) berbunyi “Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan bersama dalam masyarakat”. Sehingga dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka pasal 108 dan pasal 110 KUHPerdata di atas tidak berlaku lagi.

3.      Suatu hal tertentu;
Yaitu obyek yang tertentu, syarat-syarat ini perlu untuk dapat menetapkan kewajiban debitur jika ada perselisihan. Dalam pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang paling sedikit ditentukan jenisnya. Selanjutnya dalam pasal tersebut di tetapkan bahwa diperbolehkan mengadakan perjanjian dimana pada waktu mengadakan perjanjian jumlah barang belum ditentukan asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung (jo. pasal 1334 ayat 1 KUHPerdata). Menurut R.Subekti suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu, artinya apa yang di perjanjikan mengenai hak dan kewajiban para pihak jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian.[12]

4.      Suatu sebab yang halal;
Yang dimaksud adalah sebab dari isi suatu perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan di capai oleh para pihak, bukan sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, yang di perhatikan adalah isi perjanjian itu menggambarkan tujuan yang hendak di capai tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, hal ini terlihat jelas dalam pasal 1337 KUHPerdata yaitu “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Sebab harus dibedakan dengan motif-motif adalah alasan yang mendorong batin seseorang untuk melakukan sesuatu hal tertentu. Motif merupakan hal yang tidak penting dalam hukum, sedangkan sebab adalah tujuan dari perjanjian.[13]


C. Unsur-Unsur Perjanjian
Dalam hukum perjanjian, banyak para ahli membedakan perjanjian menjadi perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Yang dinamakan perjanjian bernama adalah perjanjian khusus yang di atur dalam KUHPerdata mulai dari Bab V sampai Bab XVIII. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak di atur dalam KUH Perdata (atau sering di sebut perjanjian khusus). Tetapi yang terpenting adalah sejauh mana kita dapat mennetukan unsur-unsur pokok dari suatu perjanjian, dengan begitu kita bisa mengelompokkan suatu perbuatan sebagaimana yang di sebutkan dalam pasal 1234 tentang jenis perikatan. Terdapat 3 unsur dalam perjanjian, yaitu :[14]
      1)      Unsur Essensialia;
Unsur essensialia adalah sesuatu yang harus ada yang merupakan hal pokok sebagai syarat yang tidak boleh diabaikan dan harus di cantumkan dalam suatu perjanjian. Bahwa dalam suatu perjanjian haruslah mengandung suatu ketentuan tentang prestasi-prestasi. Hal ini adalah penting di sebabkan hal inilah yang membedakan antara suatu perjnajian dengan perjanjian lainnya.
Unsur Essensialia sangat berpengaruh sebab unsur ini di gunakan untuk memberikan rumusan, definisi dan pengertian dari suatu perjanjian. Jadi essensi atau isi yang terkandung dari perjanjian tersebut yang mendefinisikan apa bentuk hakekat perjanjian tersebut. Contoh; misalnya essensi yang terdapat dalam definisi perjanjian jual beli dengan perjanjian tukar menukar. Maka dari definisi yang dimuat dalam definisi perjanjian tersebutlah yang membedakan antara jual beli dan tukar menukar.
Jual beli (Pasal 1457) :
Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.
Tukar menukar (Pasal 1591)
Suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai suatu ganti barang lain.
Dari definsi tersebut di atas maka berdasarkan essensi atau isi yang di kandung dari definisi diatas maka jelas terlihat bahwa jual beli di bedakan dengan tukar menukar dalam wujud pembayaran harga. Maka dari itu unsur essensialia yang terkandung dalam suatu perjanjian menjadi pembeda antara perjanjian yang satu dengan perjanjian yang lain. Semua perjanjian bernama yang diatur dalam buku III bagian kedua memiliki perbedaan unsur essensialia yang berbeda antara yang satu dengan perjanjian yang lain.

      2)      Unsur Naturalia;
Naturalia adalah ketentuan hukum umum, suatu syarat yang biasanya di cantumkan dalam perjanjian. Unsur-unsur atau hal ini biasanya di jumpai dalam perjanjian-perjanjian tertentu, di anggap ada kecuali di nyatakan sebaliknya.
Merupakan unsur yang wajib di miliki oleh suatu perjanjian yang menyangkut suatu keadaan yang pasti ada setelah diketahui unsur essensialianya. Jadi terlebih dahulu harus dirumuskan unsur essensialianya baru kemudian dapat dirumuskan unsur naturalianya. Contoh; misalnya jual beli unsur naturalianya adalah bahwa si penjual harus bertanggung jawab terhadap kerusakan-kerusakan atau cacat-cacat yang di miliki oleh barang yang di jualnya. Misalnya membeli sebuah televisi baru. Jadi unsur essensialia adalah unsur yang selayaknya atau sepatutnya sudah di ketahui oleh masyarakat dan di anggap suatu hal yang lazim atau lumrah.

       3)      Unsur Accidentalia;
Yaitu berbagai hal khusus (particular) yang di nyatakan dalam perjanjian yang di setujui oleh para pihak. Accidentalia artinya bisa ada atau di atur, bisa juga tidak ada, bergantung pada keinginan para pihak, merasa perlu untuk memuat ataukah tidak.
Selain itu accidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat di atur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan khusus yang di tentukan secara bersama-sama oleh para pihak.
Jadi unsur accidentalia lebih menyangkut mengenai faktor pelengkap dari unsur essensialia dan naturalia, misalnya dalam suatu perjanjian harus ada tempat dimana prestasi di lakukan. Contoh; Unsur yang ditambahkan para pihak karena UU tidak mengaturnya.


D.Asas-Asas Hukum Perjanjian
Asas-asas hukum dalam perjanjian menurut Sudikno Mertokusumo adalah pikiran dasar yang umum sifatnya, dan merupakan latar belakang dari peraturan hukum yang kongkrit, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat di ketemukan dengan mencari sifat-sifat dalam peraturan kongkrit tersebut.[15] Asas-asas hukum perjanjian meliputi :
 
      1)      Asas kebebasan berkontrak;
            Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir pada zaman Yunani yang diteruskan kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisans melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang di kehendakinya.[16] Kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham pasar bebas yang di pelopori oleh Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya mendasarkan pemikirannya pada ajaran hukum alam. Hal yang sama menjadi dasar pemikiran Jeremy Bentham yang di kenal dengan utilitarianism. Utilitarianism dan teori ekonomi klasik laissez faire dianggap saling melengkapi dan sama-sama menghidupkan pemikiran liberal modernsilistis.[17]
Asas kebebasan berkontrak secara tidak langsung diatur pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yang menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Menurut Absori, menjelaskan bahwa dengan mendasarkan kata semua, maka berarti semua orang bebas untuk mengadakan perjanjian yang memuat apa saja dan syarat-syarat perjanjian macam apapun (menentukan secara bebas apa yang menjadi hak, kewajiban dan tanggung jawab sepanjang tidak melanggar ketertiban umum) adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya telah membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban umum.[18]

      2)      Asas konsensualisme
            Asas ini diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata yang memuat syarat sahnya perjanjian yaitu kesepakatan para pihak untuk mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Menurut asas konsensualitas, pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sah di lahirkan sejak terciptanya kesepakatan, dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila telah sepakat mengenal hal-hal yang pokok dan tidaklah perlu suatu formalitas.[19]
Jadi perjanjian para pihak terjadi hanya dengan kata sepakat tanpa memerlukan formalitas tertentu. Pengecualian asas ini adalah perjanjian riil dan perjanjian formil, perjanjian riil misalnya perjanjian pinjam pakai yang menurut pasal 1740 KUHPerdata baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi obyek perjanjian. Perjanjian formal misalnya perjanjian perdamaian yang menurut pasal 1851 ayat (2) KUHPerdata kontrak perjanjian harus dituangkan secara tertulis.

      3)      Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini menegaskan bahwa apabila seseorang membuat perjanjian secara sah (memenuhi pasal 1320 KUHPerdata). Maka perjanjian itu berakibat bagi para pihak yang membuatnya, yaitu perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi si pembuatnya oleh karenanya akibat atas asas pacta sunt servanda sebagaimana di sebutkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata adalah: "Semua perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat di tarik kembali selain dengan sekapat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang di nyatakan cukup untuk itu. Semua perjanjian harus di laksanakan dengan itikad baik." Dengan demikian pasal 1338 KUHPerdata berkenaan dengan asas pacta sunt servanda mempunyai nama lain asas kepastian hukum. Sesuatu memperoleh jaminan bahwa apa yang telah di sepakati di jamin pelaksanaannya, hal ini menimbulkan kewajiban bagi pihak ketiga (termasuk hukum) untuk menghormati perjanjian yang telah di buat oleh para pihak, artinya pihak ketiga tidak dapat mencampuri isi perjanjian dan harus mengakui adanya perjanjian.

       4)      Asas itikad baik
Asas itikad baik berarti bahwa pelaksanaan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan keadilan. Dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dijelaskan bahwa "persetujuan harus di laksanakan dengan itikad baik". Pasal tersebut merupakan dasar dari asas itikad baik. Itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka, dan saling percaya. Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya.


[1] Abdulkadir Muhammad.  hal. 224-225.

[2] Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 65.
[3] R. Setiawan, Op.Cit, hal. 49.
[4] R. Subekti, Op.Cit, hal. 1.
[5] Ibid.

[6] Ibid, hal. 3.
[7] Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 228.
[8] R. Subekti, Op.Cit, hal. 17.
[9] J. Satrio, Op.Cit, hal. 6.
[10] R. Subekti, Op.Cit, hal. 17.
[11] Ibid.
[12] Ibid, hal. 19.
[13] R. Setiawan, Op.Cit, hal. 62.
[14] R. Subekti, Op.Cit.
[15] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1991, hal. 97.

[16] Salim.,et.al., Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar
Grafika, Jakarta, 2007, hal. 2.
[17] P. S. Atiyah, Hukum Kontrak, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1979, hal. 324.
[18] Absori, Hukum Ekonomi Indonesia (Beberapa Aspek Pengembangan Pada Era Liberalisme
Perdagangan), Muhammadiyah University Press UMS, Surakarta, 2006, hal. 85.

[19] R Subekti, Op.Cit, hal. 15.