BAB I
A. PENDAHULUAN
Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan
sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era
Reformasi. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.
1.
Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh
“budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan,
kekayaan dan wanita. Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya,
Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para
bangsawannya. Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram
menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah
kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun
kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta
dan Pakualaman.[1]
Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur pada
bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan mudah
menaklukkan Nusantara! Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles
(Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit
pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang “luar biasa” baik di kalangan
bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Hal menarik dalam buku
itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan
sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai
keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka
menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau
kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut
menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga
melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan
diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada
Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga
mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau
Sultan.[2]
Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang
standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih
kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti
Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga
berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya.
Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak
cenderung berperilaku “memaksa” rakyat kecil, di pihak lain menambah “beban”
kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.
2.
Era Pasca Kemerdekaan
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali
dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata
pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari
Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan
Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota
yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.[3]
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah
diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar
kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban
pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka
berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada
Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat
berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah
sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada
pemerintah (Kabinet Juanda).[4]
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya
pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat
sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi
ke meja pengadilan.[5]
Lembaga ini di kemudianlah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”.
Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara
lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Dalam kurun waktu 3
bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan
sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun
waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi
dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, “prestise
Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran
Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya
serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat
pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
3.
Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus
1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu
memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di
Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi
korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian
dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas
korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa
memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina,
Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang
korupsi. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen
Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite
ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di
Pertamina tak direspon pemerintah.[6]
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah
Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi.
Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib
terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara
Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara
pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam
memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada
Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu,
Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
4.
Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak
dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir
seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang
sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali,
kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan
melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945
secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi
Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara
murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut
pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga
Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki
Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat
menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu
judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu,
Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian
masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya
pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar
agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam
kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur
sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.[7]
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat
Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)
dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate.
Gus Dur lengser, Megawati pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai
kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari
pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Sejak tahun 2002 lalu telah terjadi
gelombang pengungkapan kasus dugaan korupsi DPRD di berbagai daerah berawal
dari maraknya pemberitaan tentang korupsi DPRD propinsi Sumatera Barat dan
menjalar ke berbagai wilayah lain seperti Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat,
Lampung dan kemudian hampir merata di berbagai wilayah Indonesia lainnya.
Berdasarkan data Kejati seluruh Indonesia sampai dengan bulan September 2006 terdapat
265 kasus korupsi DPRD dengan jumlah tersangka/terdakwa/terpidana sebanyak 967
orang anggota DPRD yang ditangani oleh 29 Kejati. Pada periode yang sama, telah
dikeluarkan ijin pemeriksaan untuk anggota legislatif: 327 orang anggota DPRD
propinsi dan 735 DPRD kabupaten kota.1
Bila sebelumnya laporan korupsi
didominasi oleh korupsi DPRD, belakangan kecenderungan korupsi oleh pihak
eksekutif semakin meningkat. Berdasarkan catatan ICW, jika pada tahun 2004 terdapat
masing-masing 48 kasus korupsi DPRD dan eksekutif, pada tahun 2005 korupsi
eksekutif menempati posisi teratas dengan 47 kasus. Pada tahun 2006, angka korupsi
ekskutif meningkat tajam menjadi 69 kasus.2 Dari data Kejari seluruh Indonesia,
terdapat kasus korupsi kepala daerah sebanyak 46 kasus dengan jumlah
tersangka/terdakwa terpidana 61 orang dimana 43 kasus ditangani oleh Kejati dan
3 kasus oleh Kejagung.
Sementara itu, data Mendagri menyebutkan
bahwa selama periode tahun 2004 – awal 2006 telah dikeluarkan ijin pemeriksaan
atas dugaan korupsi terhadap 7 Gubernur dan 60 Bupati/Walikota atau wakilnya. Bisa
dikatakan bahwa fenomena pengungkapan kasus korupsi di tingkat lokal dalam jumlah
dan cakupan wilayah seluas saat ini belum pernah terjadi dalam sejarah di Indonesia.
Mengapa? Berbagai kalangan beranggapan bahwa kebijakan desentralisasi
telah menyuburkan korupsi di tingkat lokal. Maraknya dugaan kasus korupsi
terjadi tak lama setelah diterapkannya kebijakan otonomi daerah atau
desentralisasi pemerintahan. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang No.5 Tahun
1974 tentang Pemerintahan di Daerah, lembaga pemerintahan daerah memiliki
kekuasaan lebih banyak terutama dalam mengatur pengelolaan budget yang
berimplikasi pada semakin terbukanya peluang terjadinya korupsi.[8]
Dalam
perkembangannya, korupsi telah menjadi wabah penyakit yang menyerang setiap
negara di dunia. Korupsi kini sudah menjadi ancaman serius yang membahayakan
perkembangan kehidupan bangsa-bangsa di dunia dan sudah seharusnya tindakan
korupsi digolongkan sebagai kejahatan terhadap kesejahteraan bangsa dan negara.
Menurut M. Mc Mullan (1961), tindak korupsi juga dapat berakibat pada tidak
efisiennya pelayanan pemerintah, kepada masyarakat, ketidak adilan dalam
kehidupan bernegara, terjadinya pemborosan sumber-sumber kekayaan negara,
rakyat tidak mempercayai pemerintah dan terjadinya ketidakstabilan politik.
Sedangkan menurt mantan Wapres Amerika Serikat, Al Gore (1999), korupsi
merupakan sumber penyebab runtuhnya suatu rezim.
Dampak atau
akibat dari tindak korupsi ini, juga digambarkan secara baik oleh Gatot
Sulistoni, Ervyn Kaffah & Syahrul Mustofa (2003), dalam 3 (tiga) kategori,
yakni: politik, ekonomi dan sosial-budaya. Secara politik, tindakan korupsi
juga mengakibatkan rusaknya tatanan demokrasi dalam kehidupan bernegara,
Karena: Pertama, prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tidak akan
terjadi sebab kekuasaan dan hasil-hasil pembangunan lebih banyak dinikmati oleh
para koruptor. Kedua, posisi pejabat dalam struktur pemerintahan diduduki oleh
orang-orang yang tidak jujur, tidak potensial dan tidak bertanggungjawab. Hal
ini disebabkan karena proses penyeleksian pejabat tidak melalui mekanisme yang
benar, yakni uji kelayakan (Fit and Propper Test), tetapi lebih
dipengaruhi oleh politik uang (Money Politic) dan kedekatan hubugan (Patront
Client), ketiga, Proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan
tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga proses pembangunan
berkelanjutan terhambat.
Sedangkan
dampak korupsi dari aspek sosial diantaranya: Pertama, Pada tingkat yang sudah
sangat sistematis, sebagian besar masyarakat tidak lagi menghiraukan aspek
profesionalisme dan kejujuran (Fairness). Hal ini disebabkan karena
semua persoalan diyakini bisa diselesaikan dengan uang sogokan. Kedua, Korupsi
mendidik masyarakat untuk menggunakan cara-cara tidak bermoral dan melawan
hukum untuk mencapai segala keinginannya.
Dari aspek
ekonomi, dampak dari suatu tindak korupsi contohnya: Pertama, Pendanaan untuk
petani, usaha kecil maupun koperasi tidak sampai ke tangan masyarakat. Kondisi
seperti ini dapat menghambat pembangunan ekonomi rakyat. Kedua, Harga barang
menjadi lebih mahal. Hal ini disebabkan karena perusahaaan harus membayar
“UPETI” atau “BIAYA SILUMAN“ sejak masa perijinan sampai produksi. Khusus untuk
biaya siluman, biasanya dapat mencapai 20%-30% dari total biaya operasional
perusahaan. Tingginya biaya siluman ini otomatis akan menurunkan tingkat keuntungan
usaha dari para pemilik modal/pengusaha. Agar para pemilik modal/pengusaha
tetap memperoleh banyak keuntungan dalam usahanya, biasanya mereka menekan upah
buruh. Ketiga, Sebagian besar uang hanya berputar pada segelintir elite ekonomi
dan politik. Realitas seperti ini mebabkan sektor usaha yang berkembang hanya
di sektor elite, sementara sektor ekonomi rakyat menjadi tidak berkembang.
Keempat, Produk petani tidak mampu bersaing. Tingginya biaya siluman juga
mengakibatkan harga-harga faktor produksi pertanian (Pupuk, Pestisida, Alat
Mekanik, dll) sangat mahal. Akibatnya harga-harga produk petani juga
meningkat, sehingga tidak mampu meraih keuntungan karena kalah bersaing dengan
produk impor. [9]
Pada
akhirnya, pemberantasan korupsi di Indonesia harus dilakukan. Apalagi fakta
membuktikan bahwa korupsi diberbagai segmen dalam kehidupan ber-Masyarakat,
ber-Bangsa dan ber-Negara di Indonesia, sampai dengan saat ini masih terus
terjadi dan semakin menjadi-jadi. Pemberantasan korupsi ini tidak akan membawa
hasil yang optimal, apabila hanya dilakukan oleh pemerintah dan instrumen
formal lainnya, tanpa mengikutsertakan rakyat yang nota bene adalah korban dari
kebijakan segelintir orang.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1) Apakah
perbuatan korupsi dapat disamakan status hukumnya sebagai kejahatan pencurian
(jarimah sirqoh)/perampokan (jarimah khirobah)/bahkan pembunuhan (jarimah
qishash)?
2) Apa
sanksi hukum yang tepat menurut hukum pidana islam bagi para koruptor?
BAB II
A.
Pengertian
Qiyas
Pengertian Qiyas menurut etimologis (bahasa arab) berarti menyamakan,
membandingkan, timbangan atau mengukur. Misalnya: menyamakan si A
dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh
yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Demikian pula membandingkan sesuatu
dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.[10]
Pengertian Qiyas menurut para ulama ushul fiqh ialah
menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya
dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain
yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat
antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Definisi devinisi tentang qiyas sebetulnya banyak, akan tetapi
maksudnya berdekatan, yaitu menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang
tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau
peristiwa.
B.
Rukun Qiyas
1) Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu
peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis
‘alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat
menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan);
2) Fara’ yang berarti cabang, yaitu suatu
peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat
dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah
(yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
3) Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah
ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’
seandainya ada persamaan ‘illatnya.
4) ‘IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada
ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainya sifat ada pula pada
fara’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama
dengan hukum ashal.[11]
C.
Syarat-syarat Qiyas
Membicarakan syarat qiyas berarti membicarakan syarat-syarat yang
berlaku pada setiap rukun atau unsur-unsur dari qiyas, sehingga qiyas dapat
dijadikan dalil dalam menetapkan hukum. Syarat – syarat itu adalah :
1)
Ashal yaitu berupa kejadian atau peristiwa yang
mempunyai dasar nash, karena itu telah ditetapkan hukumnya. Menurut Imam
Al-Ghazali (450 – 505 H / 805 – 1111 M) dan Saifuddin Al-Amidi (keduanya ahli
ushul fiqh Syafi’iyyah), syarat-syarat ashal itu adalah :
a.
Hukum Ashal itu adalah hukum
yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan di-naskh-kan (dibatalkan).
b.
Hukum itu ditetapkan
berdasarkan syara’.
c.
Ashal itu bukan merupakan far’u
dari ashal lainnya.
d.
Dalil yang menetapkan ‘illat
pada ashal itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum.
e.
Ashal itu tidak berubah setelah
dilakukan qiyas.
f.
Hukum Ashal itu tidak keluar
dari kaidah-kaidah qiyas.
2)
Hukum ashal adalah hukum yang terdapat pada
suatu wadah maqis ‘alaih yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan hukum
itu pula yang akan diberlakukan pada furu’. Syarat-syarat hukum ashal adalah :
a.
Hukum ashal itu hendaklah hukum
syara’ yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini
diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara’, sedang sandaran
hukum syara’ itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka jumhur ulama
berpendapat bahwa ijma’ tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka menyatakan
bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran,
selain dari kesepakatan para mujtahid. Karenanya hukum yang ditetapkan secara
ijma’ tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin mengqiyaskan
hukum syara’ yang amali kepada hukum yang mujma ‘alaih. Asy-Syaukani
membolehkan ijma’ sebagai sandaran qiyas.
b.
Hukum ashal itu harus
disepakati oleh ulama, karena kalau belum disepakati tentu masih diperlukan
usaha menetapkannya lebih dahulu bagi ulama yang tidak menerimanya.
c.
Hukum ashal itu tidak
menyimpang dari ketentuan qiyas, karena bila menyimpang dari ketentuan qiyas,
itu mungkin karena alasan hukumnya tidak masuk akal (irrasional), baik karena
dikecualikan dari ketentuan umum atau memang pada dasarnya sudah begitu. Maka
tidak mungkin mengqiyaskan sesuatu kepada hukum ashal itu, sebab dalam hukum
ashal seperti itu tidak ada daya rentang.
3)
Furu’ yakni sebagai sesuatu yang di bangun
atau dihubungkan kepada sesuatu yang lain. Syarat-syaratnya adalah :
a.
‘Illat yang terdapat pada furu’
memiliki kesamaan dengan ‘illat yang terdapat pada ashal, baik pada zatnya
maupun pada jenisnya. Maksudnya, seluruh ‘illat yang terdapat pada ashal juga
terdapat pada furu’. Jumlah ‘illat pada furu’ itu bisa sebanyak yang terdapat
pada ashal atau melebihi yang terdapat pada ashal.
b.
Hukum ashal tidak berubah
setelah dilakukan qiyas.
c.
Hukum far’u tidak mendahului
hukum ashal. Artinya, hukum far’u itu harus datang, kemudian dari hukum
ashal.
d.
Tidak ada nash atau ijma’ yang
menjelaskan hukum far’u itu. Artinya, tidak ada nash atau ijma’ yang
menjelaskan hukum far’u dan hukum itu bertentangan dengan qiyas, karena jika
demikian, maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau
ijma’. Qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma’, di sebut para ulama
ushul fiqh sebagai qiyas fasid, yaitu qiyas yang rusak. Misalnya, mengqiyaskan
hukum meninggalkan shalat dalam perjalanan kepada hukum bolehnya musafir tidak
berpuasa, karena qiyas seperti ini bertentangan dengan nash dan ijma’.
4)
‘Illat adalah salah satu rukun atau unsur
qiyas, bahkan mrupakan unsur yang terpenting, karena adanya ‘illat itulah yang
menentukan adanya qiyas atau yang menentukan suatu hukum untuk dapat
direntangkan kepada yang lain. Para Ulama sepakat bahwa Allah SWT membentuk
hukum dengan tujuan untuk kemashlahatan hamba-hambaNya. Kemashlahatan itu
adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul manaafi’) dan adakalanya
dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (dar-ul mafaasid). Kedua macam bentuk
hukum itu merupakan tujuan terakhir dari pembentukan hukum yang di sebut hikmah
hukum. Hikmah hukum berbeda dengan ‘illat hukum. ‘Illat hukum yaitu suatu sifat
yang nyata dan pasti ada pada suatu peristiwa yang dijadikan dasar pembentukan
hukum.[12]
D.
Macam-macam Qiyas
1.
Ditilik dari segi kekuatan
illat yang terdapat pada furu’ disbanding dengan yang terdapat pada ashl, qiyas
dibagi menjadi 3 macam yaitu:
a)
Qiyas al-Aulawi: “yaitu suatu illat hukum
yang diberikan pada ashl lebih kuat diberikan pada furu’”seperti yang terdapat
pada QS.S.Al isro’ ayat 23: yaitu: “memukul orang tua diqiyaskan dengan
menyakiti hati orang tua.”
b)
Qiyas al-Musawi: ” Suatu qiyas yang illatnya
yang mewajibkan hukum, atau mengqiyaskan sesuatu pada sesuatu yang keduanya
bersamaan dalam keputusan menerima hukum tersebut”. Contoh: menjual harta anak
yatim diqiyaskan dengan memakan harta anak yatim.
c)
Qiyas al-Adna : “Mengqiyaskan sesuatu yang
kurang kuat menerima hukum yang diberikan pada sesuatu yang memang patut
menerima hukum itu”. Contoh: mengqiyaskan jual beli apel pada gandum merupakan
riba fadhl.
2.
Dilihat dari segi kejelasan
illat yang terdapat pada hukum:
a)
Qiyas al-Jaly: “Qiyas yang illatnya
ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum ashl atau nash tidak menetapkan
illatnya tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh terhadap perbedaan antara
nash dengan furu’”. Contoh: mengqiyaskan budak perempuan dengan budak
laki-laki. Qiyas jaly dibagi lagi menjadi 3 macam: Qiyas yang illatnya
ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah illat larangan
meminum khamar yang sudah ada nashnya. Qiyas aulawi dan qiyas
musawi.
b)
Qiyas al-Khafy: “Qiyas yang illatnya tidak terdapat dalam nash”.
Contoh: mengqiyaskan pembunuhan menggunakan bahan berat dengan pembunuhan
menggunakan benda tajam.
3.
Dilihat dari segi persamaan
cabang kepada pokok.
a)
Qiyas Ma’na ialah qiyas yang cabangnya hanya
disandarkan kepada pokok yang satu. Hal ini di karenakan makna dan tujuan hukum
cabang sudah cukup dalam kandungan hukum pokoknya, oleh karena itu korelasi
antara keduanya sangat jelas dan tegas. Misalnya mengqiyaskan memukul orang tua
kepada perkataan ah seperti yang telah dijelasnkan sebelumnya.
b)
Qiyas Sibhi ialah qiyas yang fara’ dapat
diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak
persamaannya dengan fara’. Seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada
hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi
dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak
milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak
persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana
harta budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan,
diwakafkan dan sebagainya.[13]
E.
Kehujannya Qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat
sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam
menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Mereka itu barulah melakukan qiyas apabila
ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diper oleh satu nashpun yang dapat
dijadikan dasar. Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan
pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang
Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi’ah.
Ulama Zahiriyah berpendapat bahwa secara logika qiyas memang boleh
tetapi tidak ada satu nash pun dalam ayat al-Qur’an yang menyatakan wajib
memakai qiyas.
Ulama Syi’ah Imamiyah dan an-Nazzam dari Mu’tazilah menyatakan bahwa
qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan karena
mengamalkan qiyas sebagai sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal Mereka
mengambil dalil:QS. Al Hujurat: 1
Artinya:”Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan
bertaqwalah kapada Allah.” (QS. al-Hujurat : 1)
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar
hujjah, ialah al-Qur’an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:
a)
Al-Qur’an
1.
Allah SWT berfirman, artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri
kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(an-Nisâ’: 59)
Dari ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah SWT
memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan
al-Qur’an dan al-Hadits. Jika tidak ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits hendaklah
mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil amri boleh
menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Qur’an dan al-Hadits, yaitu
dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam
al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan
diantaranya dengan melakukan qiyas
2.
Firman Alloh SWT, artinya:
“Maka ambil (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang
mempunyai pandangan”. (QS. Al-Hasr : 2)
b)
Al-Hadits
Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal sebagai
gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya, artinya:“Bagaimana (cara) kamul
menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab:
Akan aku tetapkan berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam
al-Qur’an? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau
tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad
dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata):
Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah
memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai
dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad Abu Daud dan
at-Tirmidzi)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh
melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan
ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak
cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah
dengan menggunakan qiyas.
c)
Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan
pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama
diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah
yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau
sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam
shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai
kepala pemerintaha (khalifah).
d)
Akal
Tujuan Allah SWT menetapakan syara’ bagi kemaslahatan
manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam
nash dan ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan
dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang
‘illatnya sesuai benar dengan ‘illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai
dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya
ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan
‘illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu
tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.
Bila diperhatikan akan tampak bahwa nash-nash al-Qur’an
dan al-Hadits ada yang bersifat umum penjelasannya dan ada yang bersifat
khusus, ada yang mujmal dan ada yang mubayyan. Biasanya yang bersifat umum dan
mujmal, merupakan dasar-dasar umum dari syari’at Islam. Dalam pada itu
peristiwa atau kejadian setiap saat bertambah. Banyak peristiwa atau kejadian yang
terjadi sekarang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah, dan peristiwa itu
perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada nash secara khusus tentang masalah
itu yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, tetapi prinsip-prinsip umum dari
peristiwa itu terpaham pada prinsip-prinsip umum ajaran Islam yang ditemukan
harus dapat ditemukan di dalam al-Qur’an dan Hadits. Dengan melakukan qiyas
maka hukum dari setiap peristiwa yang terjadi dapat ditetapkan.[14]
BAB III
1) Apakah
perbuatan korupsi dapat disamakan status hukumnya sebagai kejahatan pencurian
(jarimah sirqoh)/perampokan (jarimah khirobah)/bahkan pembunuhan (jarimah
qishash)?
Banyak pengertian korupsi yang disebutkan menurut para-para ulama.
Pengertian korupsi yang banyak tersebut dilihat dari sudut pandang fiqih Islam
juga mempunyai dimensi-dimensi yang berbeda. Perbedaan ini muncul karena
beberapa defenisi tentang korupsi merupakan bagian-bagian tersendiri dari fiqih
Islam. Adapun pengertian yang termasuk makna korupsi dalam fiqih Islam adalah
Pencurian, penggunaan hak orang lain tanpa izin, penyelewengan harta negara
(Ghanimah), suap, khianat, perampasan. Ayat-ayat yang terkait :
Surat
Al-Baqarah: 188
Artinya : “Janganlah
kalian memakan harta diantara kalian dengan jalan yang batil dengan cara
mencari pembenarannya kepada hakim-hakim, agar kalian dapat memakan harta orang
lain dengan cara dosa sedangkan kalian mengetahuinya.”
Surat Al-Maidah
: 33 dan 38
Artinya :“Sesungguhnya
balasan orang-orang yang berbuat hirobah (perampokan) dengan maksud memerangi
Allah dan Rasulnya dan berbuat kerusakan di muka bumi dibunuh, atau disalib
atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan berbeda, atau dihilangkan dari bumi
(dibunuh), itulah balasan kehinaan bagi mereka di dunia dan di akhirat mereka
akan mendapat azab yang besar”.
Surat Al-Kahfi
: 79
Artinya : “Adapun
kapal adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, maka aku akan
merusaknya karena di belakang mereka seorang raja yang selalu mengambil hak
mereka dengan jalan ghosob.”
Pada Surat Al-Baqarah ayat 188 disebutkan secara umum bahwa Allah
SWT melarang untuk memakan harta orang lain secara batil. Qurtubi memasukkan
dalam kategori larangan ayat ini adalah: riba, penipuan, ghosob,
pelanggaran hak-hak, dan apa yang menyebabkan pemilik harta tidak senang, dan
seluruh apa yang dilarang oleh syariat dalam bentuk apapun.[15]
Pokok permasalahan dalam ayat di atas adalah larangan memakan harta
orang lain secara umum dengan jalan batil, apalagi dengan jalan membawa ke
depan hakim, sedangkan jelas harta yang diambil tersebut milik orang lain.
Korupsi adalah salah satu bentuk pengambilan harta orang lain yang bersifat
khusus. Dalil umum di atas adalah cocok untuk memasukkan korupsi sebagai salah
satu bentuk khusus dari pengambilan harta orang lain. Ayat di atas secara tegas
menjelaskan larangan untuk mengambil harta orang lain yang bukan menjadi
haknya.
Selanjutnya pada surat Ali Imran ayat 161 lebih spesifik disebutkan
tentang ghulul yang bermakna khianat. Maksudnya mengkhianati
kepercayaan Allah SWT dan manusia,terutama dalam pengurusan dan pemanfaatan
harta ghonimah. Ayat ini merupakan peringatan untuk menghindarkan diri dari
pengkhianatan amanat dalam segala bentuk. Ayat ini secara spesifik memang hanya
membahas tentang penyalahgunaan harta bersama untuk dikuasai sendiri, akan
tetapi ini akan menjelaskan bagaimana seseorang tidak boleh berlaku khianat
atau menyelewengkan harta tersebut. Sesuai dengan salah satu makna korupsi
bahwa pekerjaan ini termasuk penggelapan terhadap harta orang lain atau masyarakat.
Analog korupsi
dengan ghulul menurut penulis adalah cukup dekat dengan alasan-alasan
sebagai berikut :
a)
Korupsi adalah penyalahgunaan
harta negara, perusahaan, atau masyarakat. Ghulul juga merupakan penyalahgunaan
harta negara, karena memang pemasukan harta negara pada zaman Nabi SAW adalah ghonimah.
Adapun saat ini permasalahan uang negara berkembang tidak hanya pada ghonimah,
tetapi semua bentuk uang negara.
b)
Korupsi dilakukan oleh pejabat
yang terkait, demikian juga ghulul merupakan pengkhianatan jabatan oleh pejabat
yang terkait. [16]
Selanjutnya di dalam Surat Al-Maidah ayat 33 dan 38 disebutkan
secara khusus tentang hirobah dan suroqoh. Ayat pertama
adalah pengambilan harta orang lain dengan terang-terangan yang bisa disertai
dengan kekerasan, atau dengan cara melakukan pengrusakan di muka bumi.
Sedangkan yang kedua adalah pengambilan harta orang lain atau pencurian dengan
diam-diam.
Secara khusus korupsi adalah identik dengan pencurian atau suroqoh.
Korupsi memberikan dampak negatif yang sangat besar di masyarakat, apalagi
dengan kasus-kasus yang saat ini terjadi di Indonesia. Korupsi tidak hanya
merugikan satu dua orang akan tetapi korupsi telah menjadi ancaman bagi
kestabilan keamanan dan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat. Oleh
karena itu menurut penulis korupsi berdasarkan hal ini secara illat korupsi
lebih condong kepada hirobah.
Selanjutnya yang termasuk dalam kategori korupsi adalah ghosob.
Ayat 79 dari surat Al-Kahfi adalah menceritakan seorang raja yang zalim yang
akan mengambil kapal dari orang-orang miskin dengan jalan ghosob.
Seorang alim yang dikisahkan dalam ayat ini lantas menenggelamkan kapal agar
supaya tidak bisa dimanfaatkan dengan tidak halal (ghosob) oleh raja
yang zalim tersebut.
Pengertian ghosob adalah menguasai harta orang lain dengan pemaksaan
dengan jalan yang tidak benar, lebih lanjut dijelaskan bahwa ghosob dilakukan
dengan terang-terangan sedangkan ketika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi maka
dinamakan pencurian.[17]
Menganalogikan ghosob sebagai salah satu bentuk korupsi dengan alasan
bahwa ayat di atas menceritakan bagaimana seorang raja yang semena-mena dapat
dengan seenaknya menggunakan hak milik rakyatnya yang miskin dengan
memanfaatkan kapal yang dimiliki oleh rakyat untuk kepentingan pribadinya. Pada
kasus ini ada unsur memperkaya diri atau pribadinya dengan menggunakan hak
rakyatnya dengan jalan yang tidak benar.
2) Apa
sanksi hukum yang tepat menurut hukum pidana islam bagi para koruptor?
Menurut saya, hukuman yang tepat bagi para koruptor
adalah hukuman potong tangan bagi pelaku koruptor kecil dan hukuman mati bagi
pelaku koruptor besar. Alasannya karena:
a) Pelaku korupsi yang kecil dapat di qiyas kan seperti jarimah sirqoh(pencurian)/jarimah
khiroba(penyalah gunaan kekuasaan) karena sama-sama mengambil hak orang lain
baik itu secara tidak langsung maupun langsung. Korupsi merupakan perbuatan pencurian dengan alasan ada unsur kesengajaan.
Pencurian harta negara yang dilakukan dengan pengetahuan dan keahlian. Ada pun
korupsi merupakan perbuatan penghiyanatan, dalam hal ini tidak ada pengambilan
harta secara samar-samar, tapi terjadi penyalahgunaan wewenang dengan jabatan
dan kekuasaan. Dalam Alqur’an sudah jelas ada yang mengatur tentang hal
tersebut,salah satunya pada surat al-maidah ayat 33 dan 38 yang artinya:“Sesungguhnya
balasan orang-orang yang berbuat hirobah (perampokan) dengan maksud memerangi
Allah dan Rasulnya dan berbuat kerusakan di muka bumi dibunuh, atau disalib
atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan berbeda, atau dihilangkan dari bumi
(dibunuh), itulah balasan kehinaan bagi mereka di dunia dan di akhirat mereka
akan mendapat azab yang besar”.
b) Bagi pelaku
korupsi yang besar yaitu pelaku korupsi yang banyak menguras/mengambil uang
Negara maka sanksi yang tepat bagi dia hanya lah hukuman mati karena pelaku
korupsi yang banyak merugikan Negara dapat di qiyas kan sama saja dengan
jarimah qishash. Mengapa begitu? Karena pelaku korupsi besar yang merugikan
Negara mereka dengan sengaja melakukan hal tersebut, karena mereka memiliki
pengetahuan dan keahlian dalam korupsi. Jadi pelaku korupsi besar ini sama saja
mengambil hak orang lain yang di mana seharusnya diberikan kepada rakyat, hal
ini sama saja membunuh rakyat secara perlahan. Maka pelaku korup besar dapat di
qiyas kan dengan jarimah qishash karena sama-sama mengambil hak yang bukan
miliknya dan mengambil nyawa orang banyak dengan sengaja walupun dengan cara
perlahan. Para koruptor-koruptor besar juga sudah memiliki syarat-syarat di
kenakannya qishash, adapun syarat-syarat qishash sebagai berikut:
a.
Pelaku pembunuh berakal sehat,
balig,
b.
Ada kesengajaan,
c.
Bebas dari paksaan.[18]
Dengan begitu sudah sah bagi para pelaku korup dihukum mati (pelaku
korup yang merugikan Negara/memakan uang rakyat). Adapun dasarnya pada surat
an-nisa ayat 93 yang artinya: “bahwa
orang yang dengan sengaja membunuh orang mukmin akan menerima balasan siksa
neraka jahanan yang kekal di akhirat kelak, disertai dengan murka dan laknat
Allah”. Dan surat al-furqan ayat 68-69 yang artinya:“orang yang membunuh orang lain tanpa alasan yang sah akan akan dilipat
gandakan siksanya kelak di akhirat serta kekal”.
KESIMPULAN
Korupsi adalah perbuatan yang mengandung banyak defenisi yang sesuai
dengan pemahaman dari Al-Quran, Hadits dan juga Fiqih Islam. Pada hakekatnya
defenisi korupsi adalah usaha memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan
jalan melanggar hukum. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran hukum tersebut adalah
bisa berupa ghulul, pencurian (suroqoh), perampokan (hirobah),
menggunakan barang orang lain tanpa izin (ghosob), suap (risywah).
Hukuman bagi pelakunya adalah sangat berat di dalam Islam bahkan
sampai hukuman mati. Menurut penulis pemberlakuan hukuman yang berat bahkan
mati bagi koruptor bisa mengambil landasan dari ayat hirobah ini. Sebagaimana
dijelaskan dalam surat Surat Al-maidah ayat 33 dan 38. Karena seorang koruptor
yang melakukan tindakan dengan disertai pemberatan dan penghalalan segala cara
maka bisa dimasukkan ke dalam delik hirobah ini.
Menurut penulis korupsi sangat merusak sistem keuangan negara,
karena Hirobah mempunyai dampak lebih besar karena dilakukan dengan
berlebihan, artinya korupsi memberikan dampak negatif yang sangat besar di
masyarakat, apalagi dengan kasus-kasus yang saat ini terjadi di Indonesia.
Korupsi tidak hanya merugikan satu dua orang akan tetapi korupsi telah menjadi
ancaman bagi kestabilan keamanan dan kesejahteraan ekonomi dan sosial
masyarakat, karena seorang koruptor yang melakukan tindakan dengan disertai
pemberatan dan penghalalan segala cara maka bisa dimasukkan ke dalam delik
hirobah ini.
Berbeda dengan pasal pencurian yang hanya dengan potong tangan.
Pencurian relatif lebih kecil dibandingan dengan hirobah. Demikian juga apabila
dibandingkan dengan korupsi. Pencurian biasa yang dilakukan oleh seorang
kriminal murni mungkin relatif lebih kecil dampaknya jika dibandingkan dengan
korupsi yang akan membahayakan banyak orang dan bahkan negara.
[2]
http://swaramuslim.net/siyasah/more.php?id=2222_0_6_0_M
[10] Marsum. Jinayat. Ctk.ke dua.Fakultas Hukum
Uii.Yogyakarta.1984.
[11] www.C@hya Kehidup@n.htm
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] www.wordpres.com. Op Cit.
[16] www.wordpres.com. Op Cit.
[17] www.wordpres.com. loc Cit.
[18] Ahmad Azhar Basyir. Ikhtisar Fiqih Jinayat. Ctk
pertama.UII Press. Yogyakata.2001
ka, maaf sebelumnya. kalau bisa colour wordnya d ganti ka. biar nyaman yang baca:)
BalasHapussyukran ilmunya ka..