PEMBAHASAN
A.
Pengaturan dan Pengertian Perjanjian pada Pasal 1313
Pengaturan tentang perjanjian dapat di temui dalam
Buku III Bab II Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi “Suatu perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih”. Menurut Abdulkadair Muhammad, pengertian
Perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata tersebut kurang tepat, karena ada
beberapa kelemahan yang perlu di koreksi adalah sebagai berikut :[1]
1) Hanya
menyangkut sepihak saja, hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja
“mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari
kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri” jadi
ada konsensus antara dua pihak.
2) Kata
perbuatan mencakup juga tanpa konsensus, dalam pengertian “perbuatan” termasuk
juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwaarneming), tindakan
melawan hukum (onrechtmatige doad) yang tidak mengandung suatu
konsensus. Seharusnya di pakai istilah “pesetujuan”.
3) Pengertian
perjanjian terlalu luas, pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin
yang di atur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan
antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang di atur dalam
buku III KUHPerdata sebenarnya hanya bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian
(personal).
4) Tanpa
menyebut tujuan, dalam rumusan pasal itu tidak di sebutkan tujuan mengadakan
perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.
Demikian juga menurut Mariam Darus Badrulzaman, dkk
menyatakan : Para Sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa defenisi
perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula
terlalu luas. Tidak lengkap karena yang di rumuskan itu hanya mengenai perjanjian
sepihak saja. Defenisi itu di katakan terlalu luas karena dapat mencakup
perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan
perjanjian juga tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang di atur dalam KUHPerdata
Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III kriterianya dapat di
nilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.[2]
Berdasarkan alasan yang di kemukakan di atas maka
perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Beberapa
sarjana hukum yang memberikan definisi mengenai perjanjian adalah :
a. R
Setiawan : “Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih”.[3]
b. Subekti
: “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal”.[4]
Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara
dua orang yang membuatnya.[5] Dalam
bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang
di ucapkan atau di tulis.
Perjanjian adalah sumber perikatan di sampingnya
sumber-sumber lain. Suatu perjanjian dinamakan persetujuan karena dua pihak itu
setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian
dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Pasal 1233 KUHPerdata disebutkan
bahwa “Tiap-tiap perikatan di lahirkan baik karena persetujuan, baik karena
undang-undang”. Dengan kata lain sumber perikatan itu ialah perjanjian dan undang-undang.
Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang di kehendaki
oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan
perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang diluar
kemauan para pihak yang bersangkutan.[6]
Dengan demikian setelah menganalisis beberapa hal
dalam beberapa pasal di Buku III KUHPerdata, mengenai hukum perikatan bahwa
dapat dikatakan bahwa perikatan itu sama dengan perjanjian, perjanjian itu
merupakan perbuatan hukum antara beberapa pihak, sedikitnya dua orang yang
menyatakan kesepakatan untuk melakukan dan memenuhi suatu prestasi.
Komentar, pengertian perjanjian
terlalu luas, pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang di atur
dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang di maksud adalah hubungan antara
debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang di atur dalam
buku III KUHPerdata sebenarnya hanya bersifat kebendaan, bukan bersifat
kepribadian (personal). Pengertian pada pasal 1313 ini sangata luas
sehingga dapat menimbul kan berbagai tafsir dan bermacam-macam pendapat yang
berbeda-beda baik di kalangan ahli hukum maupun orang awam. Seharusnya pada
pasal ini harus lah di pertegas lagi dan di perjelas lagi bahwa pasal ini
merupakan tentang kebendaan, harta kekayaan dan hubungan debitor dan kreditor
bukan mengenai hal lain. Seharusnya pada KUHPerdata dilakukan perubahan dan
perombakan, karena pada KUHPerdata banyak yang masih bercampuran dan meletakkan
pasal-pasalnya tidak sesuai dengan maksud dan tujuannya.
B. Syarat Sahnya Perjanjian pada Pasal 1320
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah di akui
dan diberi akibat hukum (legaly concluded contract).[7] Menurut
pasal 1320 KUHPerdata untuk syarat sahnya suatu perjanjian di perlukan empat
syarat sebagai berikut:
1. Sepakat
mereka yang mengikat dirinya,
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan,
3. Suatu
hal tertentu, dan
4. Suatu
sebab yang halal.
Dua syarat pertama, di namakan syarat-syarat
subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau suyeknya yang mengadakan
perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat
obyektif, karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum
yang dilakukan itu.[8]
Lebih lanjut akan di uraikan satu persatu syarat-syarat
perjanjian menurut ahli hukum, sebagai berikut:
1. Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya;
Sepakat atau juga di namakan
perizinan, seia sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang di buat.
Sepakat merupakan suatu syarat yang logis, karena dalam perjanjian
setidak-tidaknya ada dua orang yang saling berhadapan dan mempunyai kehendak
yang saling mengisi. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga di kehendaki
oleh pihak yang lainnya. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal
balik.[9]
Persetujuan harus berasal dari masing-masing pihak tanpa adanya paksaan maupun
adanya satu bentuk penipuan atau ketakutan (pasal 1321, 1322, dan 1328
KUHPerdata).
Paksaan
telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan
seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan
ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan
suatu kerugian terang dan nyata (pasal 1324 KUHPerdata).
Penipuan
merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang
di pakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikain rupa hingga terang dan nyata
bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak di lakukan
tipu muslihat tersebut (pasal 1328 KUHPerdata).
Sedangkan
di katakan tidak ada kehilafan apabila kehendak seseorang pada waktu membuat
persetujuan tidak di pengaruhi kesan atau pandangan yang palsu. Kehilafan harus
sedemikian rupa sehingga seandainya tidak khilaf mengenai hal itu, ia tidak
akan menyetujuinya. “Kehilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian
selain apabila kehilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok
perjanjian” (pasal 1322 KUHPerdata).
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan;
Orang
yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum.[10]
Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akil balik dan sehat
pikirannya adalah cakap menurut hukum.[11]
Cakap berarti mengerti akan sesuatu yang di lakukan serta mengetahui dampak
dari perbuatan yang di lakukannya, dengan kata lain sudah dapat mengendalikan
apa yang di perbuatnya serta mampu mempertanggungjawabkannya. Pada umumnya
setiap orang dinyatakan cakap untuk membuat perjanjian apabila ia oleh
undang-undang tidak di nyatakan tak cakap. Hal ini diatur dalam pasal 1329
KUHPerdata. Pengecualian atas prinsip yang ada dalam pasal 1329 KUHPerdata
yaitu ada dalam isi pasal 1330 KUHPerdata ditentukan orang-orang yang tidak
cakap membuat perjanjian yaitu :
a) Orang
yang belum dewasa, dalam pasal 1330 KUHPerdata di katakan bahwa mereka yang
belum genap berumur 21 tahun dan tidak menikah adalah belum dewasa. Sehingga
dapat di simpulkan bahwa dewasa adalah mereka yang telah berumur 21 tahun,
telah menikah termasuk mereka yang belum berusia 21 tahun, tetapi sudah menikah
dan orang dewasa adalah orang yang pada dasarnya cakap untuk bertindak atau
tidak dilarang oleh undang-undang. Tetapi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas kedewasaan seseorang berubah menjadi 18
tahun. Hal ini dapat di lihat dalam pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
yang mengatakan:
1) Anak
yang belum berumur 18 tahun dan belum menikah ada di bawah kekuasaan orang
tuanya selama mereka tidak di cabut kekuasaannya.
2) Orang
tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di luar dan di dalam
pengadilan. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
b) Mereka
yang di taruh di bawah pengampuan, adalah orang yang karena sifat pribadi di anggap
tidak cakap untuk bertindak sendiri di dalam lalu lintas hukum. Orang yang
termasuk di bawah pengampuan adalah orang yang sakit gila atau mata gelap,
orang yang lemah akal dan orang yang pemboros. Pengampuan tidak pernah terjadi
demi hukum akan tetapi selalu terjadi karena adanya suatu permohonan kepada
pengadilan negeri yang berada di daerah hukum di mana orang di mohonkan di taruh
di bawah pengampuan berada. “Segala permintaan akan pengampuan, harus dimajukan
kepada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya orang yang dimintanya
pengampuannya, berdiam” (pasal 436 KUHPerdata).
c) Orang
perempuan, dalam pasal 108 KUHPerdata di katakan bahwa seseorang istri apabila
hendak menghadap di muka hakim harus mendapat bantuan dari suaminya. Namun
dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, maka kedudukan suami dan
istri adalah sama, yang berarti seorang istri adalah cakap menurut hukum. Hal
ini di atur dalam pasal 31 ayat (1) berbunyi “Hak dan kedudukan istri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami, dalam kehidupan rumah tangga dan dalam
pergaulan bersama dalam masyarakat”. Sehingga dengan keluarnya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 maka pasal 108 dan pasal 110 KUHPerdata di atas tidak
berlaku lagi.
3. Suatu
hal tertentu;
Yaitu obyek yang
tertentu, syarat-syarat ini perlu untuk dapat menetapkan kewajiban debitur jika
ada perselisihan. Dalam pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian
harus mempunyai pokok suatu barang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Selanjutnya dalam pasal tersebut di tetapkan bahwa diperbolehkan mengadakan
perjanjian dimana pada waktu mengadakan perjanjian jumlah barang belum
ditentukan asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung (jo.
pasal 1334 ayat 1 KUHPerdata). Menurut R.Subekti suatu perjanjian harus
mempunyai suatu hal tertentu, artinya apa yang di perjanjikan mengenai hak dan kewajiban
para pihak jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian.[12]
4. Suatu
sebab yang halal;
Yang
dimaksud adalah sebab dari isi suatu perjanjian itu sendiri yang menggambarkan
tujuan yang akan di capai oleh para pihak, bukan sebab dalam arti yang
menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian. Undang-undang tidak
memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, yang di perhatikan
adalah isi perjanjian itu menggambarkan tujuan yang hendak di capai tidak
dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan,
hal ini terlihat jelas dalam pasal 1337 KUHPerdata yaitu “suatu sebab adalah
terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Sebab harus dibedakan dengan motif-motif
adalah alasan yang mendorong batin seseorang untuk melakukan sesuatu hal
tertentu. Motif merupakan hal yang tidak penting dalam hukum, sedangkan sebab
adalah tujuan dari perjanjian.[13]
C. Unsur-Unsur
Perjanjian
Dalam
hukum perjanjian, banyak para ahli membedakan perjanjian menjadi perjanjian
bernama dan perjanjian tidak bernama. Yang dinamakan perjanjian bernama adalah
perjanjian khusus yang di atur dalam KUHPerdata mulai dari Bab V sampai Bab
XVIII. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak di atur
dalam KUH Perdata (atau sering di sebut perjanjian khusus). Tetapi yang
terpenting adalah sejauh mana kita dapat mennetukan unsur-unsur pokok dari
suatu perjanjian, dengan begitu kita bisa mengelompokkan suatu perbuatan sebagaimana
yang di sebutkan dalam pasal 1234 tentang jenis perikatan. Terdapat 3 unsur
dalam perjanjian, yaitu :[14]
1) Unsur
Essensialia;
Unsur essensialia adalah sesuatu yang harus ada yang
merupakan hal pokok sebagai syarat yang tidak boleh diabaikan dan harus di cantumkan
dalam suatu perjanjian. Bahwa dalam suatu perjanjian haruslah mengandung suatu
ketentuan tentang prestasi-prestasi. Hal ini adalah penting di sebabkan hal
inilah yang membedakan antara suatu perjnajian dengan perjanjian lainnya.
Unsur Essensialia sangat berpengaruh sebab unsur ini
di gunakan untuk memberikan rumusan, definisi dan pengertian dari suatu
perjanjian. Jadi essensi atau isi yang terkandung dari perjanjian tersebut yang
mendefinisikan apa bentuk hakekat perjanjian tersebut. Contoh; misalnya essensi
yang terdapat dalam definisi perjanjian jual beli dengan perjanjian tukar
menukar. Maka dari definisi yang dimuat dalam definisi perjanjian tersebutlah
yang membedakan antara jual beli dan tukar menukar.
Jual
beli (Pasal 1457) :
Suatu
perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu
barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.
Tukar
menukar (Pasal 1591)
Suatu
perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling
memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai suatu ganti barang lain.
Dari definsi tersebut di atas maka berdasarkan
essensi atau isi yang di kandung dari definisi diatas maka jelas terlihat bahwa
jual beli di bedakan dengan tukar menukar dalam wujud pembayaran harga. Maka dari
itu unsur essensialia yang terkandung dalam suatu perjanjian menjadi pembeda
antara perjanjian yang satu dengan perjanjian yang lain. Semua perjanjian
bernama yang diatur dalam buku III bagian kedua memiliki perbedaan unsur
essensialia yang berbeda antara yang satu dengan perjanjian yang lain.
2) Unsur
Naturalia;
Naturalia adalah ketentuan hukum umum, suatu syarat
yang biasanya di cantumkan dalam perjanjian. Unsur-unsur atau hal ini biasanya di
jumpai dalam perjanjian-perjanjian tertentu, di anggap ada kecuali di nyatakan
sebaliknya.
Merupakan unsur yang wajib di miliki oleh suatu
perjanjian yang menyangkut suatu keadaan yang pasti ada setelah diketahui unsur
essensialianya. Jadi terlebih dahulu harus dirumuskan unsur essensialianya baru
kemudian dapat dirumuskan unsur naturalianya. Contoh; misalnya jual beli unsur
naturalianya adalah bahwa si penjual harus bertanggung jawab terhadap kerusakan-kerusakan
atau cacat-cacat yang di miliki oleh barang yang di jualnya. Misalnya membeli sebuah
televisi baru. Jadi unsur essensialia adalah unsur yang selayaknya atau
sepatutnya sudah di ketahui oleh masyarakat dan di anggap suatu hal yang lazim
atau lumrah.
3) Unsur
Accidentalia;
Yaitu berbagai hal khusus (particular) yang di
nyatakan dalam perjanjian yang di setujui oleh para pihak. Accidentalia artinya
bisa ada atau di atur, bisa juga tidak ada, bergantung pada keinginan para
pihak, merasa perlu untuk memuat ataukah tidak.
Selain itu accidentalia adalah unsur pelengkap dalam
suatu perjanjian yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat di atur secara menyimpang
oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan
khusus yang di tentukan secara bersama-sama oleh para pihak.
Jadi unsur accidentalia lebih menyangkut mengenai
faktor pelengkap dari unsur essensialia dan naturalia, misalnya dalam suatu perjanjian
harus ada tempat dimana prestasi di lakukan. Contoh; Unsur yang ditambahkan
para pihak karena UU tidak mengaturnya.
D.Asas-Asas
Hukum Perjanjian
Asas-asas hukum dalam perjanjian menurut Sudikno
Mertokusumo adalah pikiran dasar yang umum sifatnya, dan merupakan latar
belakang dari peraturan hukum yang kongkrit, yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat di ketemukan
dengan mencari sifat-sifat dalam peraturan kongkrit tersebut.[15] Asas-asas
hukum perjanjian meliputi :
1) Asas
kebebasan berkontrak;
Latar belakang lahirnya asas
kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional
lahir pada zaman Yunani yang diteruskan kaum Epicuristen dan berkembang pesat
dalam zaman renaisans melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas
Hobbes, Jhon Locke, dan Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang
bebas untuk memperoleh apa yang di kehendakinya.[16] Kebebasan
berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham pasar bebas yang di pelopori
oleh Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya mendasarkan pemikirannya pada
ajaran hukum alam. Hal yang sama menjadi dasar pemikiran Jeremy Bentham yang di
kenal dengan utilitarianism. Utilitarianism dan teori ekonomi klasik laissez
faire dianggap saling melengkapi dan sama-sama menghidupkan pemikiran
liberal modernsilistis.[17]
Asas kebebasan
berkontrak secara tidak langsung diatur pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yang
menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Menurut Absori, menjelaskan
bahwa dengan mendasarkan kata semua, maka berarti semua orang bebas untuk
mengadakan perjanjian yang memuat apa saja dan syarat-syarat perjanjian macam
apapun (menentukan secara bebas apa yang menjadi hak, kewajiban dan tanggung jawab
sepanjang tidak melanggar ketertiban umum) adalah suatu asas yang menyatakan
bahwa setiap orang pada dasarnya telah membuat kontrak (perjanjian) yang berisi
dan macam apapun asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban
umum.[18]
2) Asas
konsensualisme
Asas ini diatur dalam pasal 1320
KUHPerdata yang memuat syarat sahnya perjanjian yaitu kesepakatan para pihak
untuk mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal
tertentu dan suatu sebab yang halal. Menurut asas konsensualitas, pada dasarnya
perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sah di lahirkan sejak
terciptanya kesepakatan, dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila
telah sepakat mengenal hal-hal yang pokok dan tidaklah perlu suatu formalitas.[19]
Jadi perjanjian
para pihak terjadi hanya dengan kata sepakat tanpa memerlukan formalitas
tertentu. Pengecualian asas ini adalah perjanjian riil dan perjanjian formil,
perjanjian riil misalnya perjanjian pinjam pakai yang menurut pasal 1740 KUHPerdata
baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi obyek perjanjian.
Perjanjian formal misalnya perjanjian perdamaian yang menurut pasal 1851 ayat
(2) KUHPerdata kontrak perjanjian harus dituangkan secara tertulis.
3) Asas
Pacta Sunt Servanda
Asas ini menegaskan
bahwa apabila seseorang membuat perjanjian secara sah (memenuhi pasal 1320
KUHPerdata). Maka perjanjian itu berakibat bagi para pihak yang membuatnya,
yaitu perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi si pembuatnya oleh
karenanya akibat atas asas pacta sunt servanda sebagaimana di sebutkan
dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata adalah: "Semua perjanjian yang di buat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu
perjanjian tidak dapat di tarik kembali selain dengan sekapat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang di nyatakan cukup
untuk itu. Semua perjanjian harus di laksanakan dengan itikad baik." Dengan
demikian pasal 1338 KUHPerdata berkenaan dengan asas pacta sunt servanda mempunyai
nama lain asas kepastian hukum. Sesuatu memperoleh jaminan bahwa apa yang telah
di sepakati di jamin pelaksanaannya, hal ini menimbulkan kewajiban bagi pihak
ketiga (termasuk hukum) untuk menghormati perjanjian yang telah di buat oleh
para pihak, artinya pihak ketiga tidak dapat mencampuri isi perjanjian dan
harus mengakui adanya perjanjian.
4) Asas
itikad baik
Asas itikad baik
berarti bahwa pelaksanaan perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan
dan keadilan. Dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dijelaskan bahwa
"persetujuan harus di laksanakan dengan itikad baik". Pasal tersebut merupakan
dasar dari asas itikad baik. Itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam
membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka, dan saling percaya.
Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk
melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya.
[2]
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi
Hukum Perikatan Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70
Tahun, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 65.
[3] R. Setiawan, Op.Cit, hal. 49.
[4]
R. Subekti, Op.Cit, hal. 1.
[5] Ibid.
[6]
Ibid, hal. 3.
[7] Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 228.
[8] R. Subekti, Op.Cit, hal. 17.
[9] J. Satrio, Op.Cit, hal. 6.
[10]
R. Subekti, Op.Cit, hal. 17.
[11]
Ibid.
[12]
Ibid, hal. 19.
[13]
R. Setiawan, Op.Cit, hal. 62.
[14] R.
Subekti, Op.Cit.
[15] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1991, hal. 97.
[16] Salim.,et.al.,
Perancangan Kontrak & Memorandum
of Understanding (MoU), Sinar
Grafika,
Jakarta, 2007, hal. 2.
[17] P. S. Atiyah, Hukum Kontrak, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1979, hal.
324.
[18] Absori, Hukum
Ekonomi Indonesia (Beberapa Aspek Pengembangan Pada Era Liberalisme
Perdagangan), Muhammadiyah University Press UMS, Surakarta,
2006, hal. 85.
[19]
R Subekti, Op.Cit, hal. 15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar