BAB I
PENDAHULUAN
Perjanjian
dinamakan juga persetujuan atau Overeenkomsten yaitu “ suatu kata
sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka, yang
bertujuan mengikat kedua belah pihak “ (Wirjono Projodikoro).
Pasal 1313 KUHPerdata
mengemukakan “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
A. Pengertian Perjanjian
Bernama dan Dasar Hukumnya
Perjanjian
Bernama (benoemd overeenkomst) atau perjanjian khusus adalah
perjanjian yang memiliki nama sendiri. Perjanjian tersebut diberi nama oleh
pembuat undang-undang dan merupakan perjanjian yang sering di temui di
masyarakat.
Secara garis
besar, perjanjian yang diatur/dikenal di dalam KUHPer adalah sebagai berikut:
Perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, kerja, persekutuan perdata,
perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap dan abadi,
untung-untungan, pemberian kuasa, penanggung utang dan perdamaian. Dalam teori
ilmu hukum, perjanjian-perjanjian diatas disebut dengan perjanjian nominaat.
Dasar hukum perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai Bab XVIII Buku Ke
Tiga KUHPerdata.
- Pasal 1457 KUHPerdata“Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.”
- Pasal 1541 KUHPerdata“Tukar menukar ialah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai ganti suatu barang lain.”
- Pasal 1548 KUHPerdata“Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak.”
- Pasal 1601 KUHPerdata“Selain persetujuan untuk menyelenggarakan beberapa jasa yang diatur oleh ketentuanketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, dan bila ketentuanketentuan yang syarat-syarat ini tidak ada, persetujuan yang diatur menurut kebiasaan, ada dua macam persetujuan, dengan mana pihak kesatu mengikatkan diri untuk mengerjakan suatu pekerjaan bagi pihak lain dengan menerima upah, yakni: perjanjian kerja dan perjanjian pemborongan kerja.
- Pasal 1618 KUHPerdata“Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya”
- Pasal 1653 KUHPerdata“Selain persekutuan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga diakui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum atau diakuinya sebagai demikian, entah pula badan hukum itu diterima sebagai yang diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan”
- Pasal 1666 KUHPerdata“Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahanpenghibahan antara orang-orang yang masih hidup.”
- Pasal 1694 KUHPerdata“Penitipan adalah terjadi apabila seseorang menerima sesuatu barang dari orang lain dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam ujud asalnya”
- Pasal 1740 KUHPerdata“Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang satu menyerahkan suatu barang untuk dipakai dengan cuma-cuma kepada pihak lain, dengan syarat bahwa pihak yang menerima barang itu setelah memakainya atau setelah lewat waktu yang ditentukan, akan mengembalikan barang itu.”
- Pasal 1754 KUHPerdata“Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkansejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.”
- Pasal 1770 KUHPerdata“Perjanjian bunga abadi ialah suatu persetujuan bahwa pihak yang memberikan pinjaman uang akan menerima pembayaran bunga atas sejumlah uang pokok yang tidak akan dimintanya kembali.”
- Pasal 1774 KUHPerdata“Suatu persetujuan untung-untungan ialah suatu perbuatan yang hasilnya, yaitu mengenaiuntung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, tergantung pada suatu kejadian yang belum pasti.
Demikian adalah: persetujuan
pertanggungan;nbunga cagak hidup; perjudian dan pertaruhan. Persetujuan
yang pertama diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
- Pasal 1792 KUHPerdata“Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.”
- Pasal 1820 KUHPerdata“Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya.”
- Pasal 1851 KUHPerdata“Perdamaian adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun mencegah timbulnya suatu perkara bila dibuat secara tertulis.”
B. Pengertian Perjanjian Tidak Bernama dan Dasar Hukumnya
Perjanjian tidak bernama, adalah
perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus di dalam
Undang-Undang, karena tidak diatur dalam KUHPerdata dan Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD). Lahirnya perjanjian ini didalam prakteknya adalah
berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau partij
otonomi.
Tentang perjanjian tidak bernama
diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata, yaitu yang berbunyi: ”semua perjanjian,
baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama
tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang
lain”.
Di luar KUHPerdata dikenal pula
perjanjian lainnya, seperti kontrak joint venture, kontrak production
sharing, leasing, franchise, kontrak karya, beli sewa,
kontrak rahim, dan lain sebaginya. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian innominaat,
yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan
masyarakat. Keberadaan perjanjian baik nominaat maupun innominaat
tidak terlepas dari adanya sistem yang berlaku dalam hukum perjanjian itu
sendiri.
Leasing
sebenarnya berasal dari kata lease yang berarti menyewakan. Di
Indonesia, leasing lebih sering diistilahkan dengan nama “sewa guna usaha”.
Sewa Guna Usaha adalah suatu perjanjian dimana lessor menyediakan barang (asset)
dengan hak penggunaan oleh lessee dengan imbalan pembayaran sewa untuk suatu
jangka waktu tertentu. Secara umum leasing artinya equipment funding,
yaitu pembiayaan peralatan atau barang modal untuk digunakan pada proses
produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak.
Pasal 1 ayat 1
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.1169/KMK.01/1991 memberikan
definisi leasing, yaitu: “Sewa-guna usaha (leasing) adalah kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa-guna-usaha
dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa-guna-usaha tanpa hak opsi
(operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu
berdasarkan pembayaran secara berkala”
Leasing sebagai
salah satu bentuk perjanjian tidak bernama sampai saat ini tidak ada
undang-undang khusus yang mengaturnya. Pengaturan leasing baru terdapat pada
tingkat Keputusan Menteri Keuangan dan peraturan-peraturan lain dibawahnya.
Ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai pegangan yang pasti adalah Surat
Keputusan Bersama Tiga Menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian,
dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. KEP 122/MK/IV/2/1974,
No.32/M/SK/2/1974, dan No. 30/Kpb/I/74 tanggal 7 Februari 1974.
Leasing
merupakan perjanjian yang lahir dari praktek kehidupan masyarakat berdasarkan
prinsip asas kebebasan berkontrak. Leasing sebagai salah satu lembaga hukum
perjanjian merupakan perjanjian in-nominat (perjanjian tidak bernama) dimana
ketentuan mengenai perjanjian tersebut tidak diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Meskipun demikian, leasing tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan
umum mengenai perjanjian dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Bab I
dan Bab II KUHPerdata, hal ini seperti yang ditentukan dalam pasal 1319
KUHPerdata.
Yurisprudensi Mahkamah
Agung Republik Indonesia Mengenai Lembaga Leasing merupakan
suatu hal baru untuk Indonesia diakui oleh Mahkamah Agung. Asas kebebasan
berkontrak yang menjadi dasar untuk diperkayanya lembaga-lembaga hukum dalam
sistem di Indonesia yang tumbuh dalam praktek ini. Putusan Mahkamah Agung Reg.
131K/Pdt/1987 tertanggal 14 November 1988 telah memperkembangkan berbagai
lembaga-lembaga baru dalam sistem hukum di Indonesia, karena dalam praktek
banyak dipergunakan sehari-hari di Indonesia, Pengadilan juga mengakui
keabsahannya.
Dalam
putusannya Mahkamah Agung mempertimbangkan sebagai berikut: “Bahwa walaupun
Lembaga Leasing tidak diatur dalam KUHPerdata, namun dengan sistem terbuka
yang dianut oleh KUHPerdata tersebut di mana terdapat asas Kebebasan
Berkontrak, maka pihak-pihak bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja
selama tidak bertentangan dengan pasal 1320 KUHPerdata “; Jadi Mahkamah
Agung secara tegas mendukung adanya asas kebebasan berkontrak. Segala
perjanjian yang tidak dilarang adalah diperbolehkan.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perjanjian
Kredit (Perjanjian Tidak Bernama) dengan Perjanjian Pinjam Meminjam (Perjanjian
Bernama)
Dari
perumusan Pasal 1313 KUH Perdata, dapat disimpulkan bahwa perjanjian atau
persetujuan dalam pasal tersebut adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan.
Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa
perjanjian melahirkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping
sumber lainnya, yaitu undang-undang.
Terhadap
perjanjian kredit terdapat beberapa pandangan, yaitu : Subekti mengatakan
bahwa, dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, pada hakekatnya
yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam. Sebagaimana diatur oleh
KUH Perdata Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769.[2]
Mirip
dengan pendapat Subekti adalah pendapat Marhais Abdul Hay[3],
yang mengatakan bahwa perjanjian kredit identik dengan perjanjian pinjam
meminjam, dan dikuasai oleh ketentuan bab XIII dari buku III KUH Perdata.
Mariam
Darus Badrulzaman[4]
tidak sependapat dengan Subekti dan Marhais Abdul Hay, karena berdasarkan
kenyataan perjanjian kredit itu memiliki identitas sendiri yang berbeda dengan
perjanjian pinjam uang.
Hal
yang serupa juga diungkapkan oleh Djuhaendah Hasan[5]
yang menyatakan perjanjian kredit tidak tepat dikuasai oleh ketentuan bab XIII
buku III KUH Perdata, sebab antara perjanjian pinjam meminjam dengan perjanjian
kredit terdapat beberapa perbedaan.
Perbedaan
antara perjanjian pinjam meminjam dengan perjanjian kredit terletak pada
beberapa hal, antara lain:[6]
1. Perjanjian
kredit selalu bertujuan, dan tujuan tersebut biasanya berkaitan dengan program
pembangunan. Biasanya dalam pemberian kredit sudah ditentukan tujuan penggunaan
uang yang akan diterima tersebut, sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam
tidak ada ketentuan tersebut, dan debitur dapat menggunakan uangnya secara
bebas.
2. Dalam
perjanjian kredit, sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank atau
lembaga pembiayaan dan tidak dimungkinkan diberikan oleh individu. Sedangkan
dalam perjanjian pinjam meminjam, pemberian pinjaman dapat oleh individu.
3. Pengaturan
yang berlaku bagi perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam meminjam.
Bagi perjanjian pinjam meminjam, berlaku ketentuan umum dari buku III bab XIII
KUH Perdata. Sedangkan bagi perjanjian kredit, akan berlaku ketentuan dalam UU
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Paket Kebijakan Pemerintah dalam Bidang
Ekonomi terutama Bidang Perbankan, Surat Edaran Bank Indonesia ( SEBI ) dan
sebagainya.
4. Pada
perjanjian kredit, telah ditentukan bahwa pengembalian uang pinjaman harus
disertai bunga, imbalan, atau pembagian hasil. Sedangkan dalam perjanjian
pinjam meminjam, hanya berupa bunga saja dan bunga ini pun baru ada jika
diperjanjikan.
5. Pada
perjanjian kredit, bank harus mempunyai keyakinan akan kemampuan debitur untuk
melakukan pengembalian kredit yang diformulasikan dalam bentuk jaminan, baik
materiil, maupun immateriil. Sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam,
jaminan merupakan pengamanan bagi kepastian perlunasan hutang, dan ini pun ada
apabila diperjanjikan, juga jaminan itu hanya merupakan jaminan secara fisik
atau materiil saja.
Pendapat
lain dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini[7],
yaitu bahwa perjanjian kredit bukanlah perjanjian riil seperti halnya
perjanjian pinjam meminjam. Perjanjian kredit mempunyai ciri-ciri yang berbeda
dengan perjanjian pinjam meminjam. Ciri-ciri pembeda itu adalah :
a. Sifat
konsensual dari suatu perjajian kredit merupakan ciri pertama yang
membedakannya dari perjanjian pinjam meminjam uang yang bersifat riil.
Perjanjian kredit adalah perjanjian loan of money menurut hukum Inggris
yang dapat bersifat riil maupun konsensual, tetapi bukan perjanjian peminjaman
uang menurut hukum Indonesia yang bersifat riil. Bagi perjanjian kredit, yang
jelas-jelas mencantumkan syarat-syarat tangguh, tidak dapat dibantah lagi bahwa
perjanjian itu merupakan perjanjian yang konsensual sifatnya. Setelah
perjanjian kredit ditandatangani oleh bank dan nasabah debitur, nasabah debitur
belum berhak menggunakan atau melakukan penarikan kredit. Atau sebaliknya,
setelah ditandatangani kredit oleh kedua belah pihak, belumlah menimbulkan
kewajiban bagi bank untuk menyediakan kredit sebagaimana yang diperjanjikan.
Hak nasabah debitur untuk dapat menarik atau kewajiban bank untuk menyediakan
kredit, masih bergantung pada terpenuhinya semua syarat yang ditentukan di
dalam perjanjian kredit.
b. Kredit
yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur tidak dapat digunakan secara
leluasa untuk keperluan atau tujuan tertentu oleh nasabah debitur, seperti yang
dilakukan oleh peminjam uang atau debitur pada perjanjian peminjaman uang
biasa. Pada perjanjian kredit, kredit harus digunakan sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan di dalam perjanjian, dan pemakaian yang menyimpang dari tujuan itu
dapat menimbulkan hak kepada bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara
sepihak dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh baki debet atau outstanding
kredit. Hal ini berarti, nasabah debitur bukan merupakan pemilik mutlak
dari kredit yang diperolehnya berdasarkan perjanjian kredit itu, sebagaimana
bila seandainya perjanjian kredit itu adalah perjanjian peminjaman uang. Dengan
kata lain, perjanjian kredit bank tidak mempunyai ciri yang sama dengan
perjanjianpinjam meminjam atau perjanjian pinjam mengganti. Oleh karena itu,
pada perjanjian kredit bank, tidak berlaku ketentuan-ketentuan ke XIII buku III
KUH Perdata.
c. Yang
membedakan perjanjian kredit bank dari perjanjian peminjaman uang adalah
mengenai syarat cara penggunaanya. Kredit bank hanya dapat digunakan menurut
cara tertentu, yaitu dengan menggunakan Cek atau perintah pemindahbukuan. Cara
lai hampir dapat dikatakan tidak mungkin atau tidak diperbolehkan. Pada
perjanjian peminjaman uang biasa, uang yang dipinjamkan diserahkan seluruhnya
oleh kreditur ke dalam kekuasaan mutlak nasabah debitur. Kredit selalu
diberikan dalam bentuk rekening koran yang penarikan dan penggunaannya selalu
berada dalam pengawasan bank.
Selanjutnya,
Remy Sjahdeini menyimpulkan bahwa perjanjian kredit memiliki pengertian secara
khusus, yakni : “perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai
debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, yang mewajibkan nasabah-nasabah debitur untuk melunasi hutangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil
keuntungan.”[8]
Dari
pengertian perjanjian kredit di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian kredit
merupakan kesepakatan yang dibuat antara bank selaku kreditur dengan nasabah
selaku debitur mengenai pinjaman dana untuk dijadikan modal dalam suatu usaha
yang akan dijalankan debitur, dengan pengembalian dana tersebut pada waktunya
yang ditentukan disertai bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan yang
diperoleh dari hasil usaha debitur.
Dalam
praktiknya, perjanjian kredit ini disetujui oleh bank hanya berdasarkan
kepercayaan bahwa debitur akan segera melunasi utangnya pada waktunya tertentu
yang telah ditentukan. Oleh karena itu, bank sebelum menyepakati suatu
perjanjian kredit harus memiliki keyakinan mengenai kesanggupan, kemampuan, dan
kemauan debitur untuk melunasi utangnya. untuk memperoleh keyakinan tersebut,
bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal,
agunan, dan prospek usaha debitur. Namun sekalipun bank telah melakukan
penilaian yang ketat terhadap para calon debiturnya, kredit yang diberikan
selalu mengandung risiko.
Risiko
yang mungkin akan dihadapi, terutama oleh pihak perbankan selaku kreditur
adalah apa yang biasa sdikenal dengan istilah kredit macet. Yakni suatu keadaan
dimana seorang nasabah atau debitur tidak mampu membayar lunas kredit bank pada
waktunya[9].
Keadaan yang demikian dalam hukum perdata disebut wanprestasi atau ingkar
janji. Sebagaimana telah diketahui bahwa kredit merupakan perjanjian pinjam
uang, maka debitur yang tidak dapat membayar lunas utangnya setelah jangka
waktunya habis, adalah wanprestasi.
Kredit
macet mempunyai dampak negatif bagi kedua belah pihak. Bagi nasabah, dalam hal
ini nasabah yang masih beritikad baik, artinya kredit macet terjadi bukan
disengaja, kredit macet berarti ia harus menanggung beban kewajiban yang cukup
berat terhadap bank. Karena bunga tetap dihitung terus selama kredit belum
dilunasi. Mengingat setiap pinjaman dari bank (konvensional) mengandung bunga,
maka jumlah kewajiban nasabah semakin
lama akan semakin bertambah besar. Sedangkan bagi bank, dampaknya lebih serius
karena selain dana yang disalurkan untuk kredit berasal dari masyarakat, kredit
macet juga mengakibatkan bank kekurangan dana sehingga mempengaruhi kegiatan
usaha bank. Bank yang terganggu kesehatannya, akan sulit melayani permintaan
nasabah, seperti permohonan kredit, penarikan tebungan, dan deposito. Keadaan
yang demikian akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap bank hingga
manjadi berkurang. Bahkan bukannya tidak mungkin izin usaha bank dicabut
pemerintah dan dilikuidasi.
B. Perjanjian
Beli Sewa (Perjanjan Tidak Bernama) dengan Perjanjian Jual Beli (Perjanjian
Bernama)
Prjanjian
beli sewa berasal dari kata huurkop dalam bahasa Belanda atau hire purchase
dari bahasa Inggris). Para ahli berbeda pandangan tentang definisi atau
pengertian beli sewa,
dari berbagai pandangan atau dapat di bagi menjadi 3 (tiga) macam definisi yang
membahas tentang beli sewa yaitu:
Definisi
pertama berpendapat bahwa beli sewa sama
dengan jual beli angsuran; Definisi kedua berpendapat bahwa beli sewa sama dengan sewa
menyewa; Definisi ketiga berpendapat bahwa beli sewa sama dengan jual beli.[10]
Pasal
1 huruf a Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/KP/II/80 tentang
perijinan beli sewa (hire purchase) jual beli dengan
angsuran, dan sewa (renting) di
sebutkan pengertian sewa beli. Beli sewa adalah
jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara
memperhitungkan setiap pembayaran yang di lakukan oleh pembeli dengan pelunasan
atas harga yang telah di sepakati bersama dan di ikat dalam suatu perjanjian,
suatu hak milik atas barang tersebut
beralih dari penjual kepada pembeli setelah harganya di bayar lunas oleh
pembeli kepada penjual.[11]
Bila
di perhatikan unsur atau elemen perjanjian beli sewa menurut keputusan bersama tersebut adalah :
1.
Adanya jual beli barang.
2.
Penjualan dengan memperhitungkan setiap
pembayaran.
3.
Objek beli sewa diserahkan kepada
pembeli.
4.
Momentum peralihan hak milik setelah
pelunasan terakhir.
Hire
Purchase Act 1965 mengkonstruksikan beli sewa sebagai perjanjian sewa menyewa dengan hak opsi dari
si penyewa untuk membeli barang yang di sewanya.
Menurut
Wirjono Prodjodikoro sewa beli adalah pokoknya persetujuan di namakan sewa
menyewa barang dengan akibat bahwa si penerima tidak menjadi pemilik, melainkan
pemakai belaka, baru kalau uang sewa telah dibayar, berjumlah sama dengan harga
pembelian, si penyewa beralih menjadi pembeli yaitu barangnya menjadi miliknya.[12]
Berdasar
definisi tersebut di atas, pengertian beli sewa di konstruksikan sama dengan
perjanjian sewa menyewa barang, dalam arti bahwa si pembeli hanya pemakai
belaka, tetapi kalau harganya sama, maka si penyewa menjadi pembeli.
Definisi
ketiga yang menyatakan bahwa beli sewa merupakan campuran jual beli dan sewa
menyewa. Pendapat ini di kemukakan oleh R. Soebekti. Menurut R. Soebekti, beli
sewa adalah sebenarnya suatu macam jual beli, setidak-tidaknya mendekati jual
beli dari pada sewa-menyewa, meskipun ia merupakan campuran keduanya dan
karenanya di beri judul sewa-menyewa.
Dengan
demikian, beli sewa merupakan perjanjian jual beli, bukan konstruksi sewa
menyewa, dalam perjanjian beli sewa maka pembeli sewa hanya bertindak sebagai
penyewa belaka.
Sejak
terjadinya kesepakatan barang itu dapat langsung menjadi hak milik dari pembeli, kemudian barang tersebut dapat
di alihkan kepada pihak lain sebelum terjadinya pelunasan terakhir, apabila
barang tidak di alihkan oleh si pembeli sewa maka pembeli sewa dapat di
golongkan telah melakukan tindakan penggelapan barang.
Dengan
demikian, di katakan bahwa dalam undang-undang di hubungkan dengan pendapat
para ahli melihat sewa beli dalam konstruksi yuridis yang berbeda satu dengan
lainnya. beli sewa merupakan
gabungan dari 2 (dua) macam konstruksi
hukum yaitu konstruksi hukum sewa menyewa dan jual beli, apabila barang yang di
jadikan objek beli sewa tidak mampu dib ayar oleh si pembeli sewa sebagaimana
di perjanjikan, maka barang itu dapat di beli oleh penjual sewa.
Untuk
lebih memahami makna perjanjian beli sewa harus di pelajari secara mendalam apa saja
klausul-klausul yang terdapat di dalam perjanjian (tertulis)-nya. Di dalam perjanjian beli sewa terdapat beberapa
klausul.[13]
1) Klausula
Penundaan Peralihan Hak
Dalam
beli sewa, klausul penundaan peralihan hak, ini merupakan suatu karakter utama,
hal ini berhubungan langsung dengan proses peralihan hak milik. Dalam proses
peralihan hak milik tidak disyaratkan adanya suatu bentuk hukum, akan tetapi
peralihan hak milik tersebut berlangsung tanpa melalui proses apapun yaitu
terjadi dengan sendirinya. Hak milik beralih kepada pembeli bila ia telah
memenuhi semua kewajibannya berdasarkan persetujuan pembelian (uit hoofde van de koopovereenkomst).
Saat
peralihan hak milik dapat di sepakati antara kedua belah pihak, dan dalam
praktek hak milik berakhir setelah pembayaran angsuran telah lunas.
Penyerahan
barang biasanya di lakukan dengan suatu pernyataan saja, karena barangnya sudah
berada di dalam kekuasaan si pembeli dalam kedudukannya sebagai penyewa cara
penyerahan ini di namakan traditio
brevimanu.
2) Klausul
Menggugurkan (Verval Clausule)
Pada
umumnya syarat yang tercantum pada perjanjian beli sewa adalah syarat menggugurkan atau jatuh tempo. Syarat
ini merupakan akibat adanya syarat tentang hak milik yang belum beralih kepada
pembeli atau dengan kata lain adanya syarat penundaan peralihan hak, sehingga
keadaan demikian membawa akibat bahwa selama masa pembayaran angsuran hak milik
masih di tangan penjual.
Apabila
pembeli tidak membayar sesuai kewajibannya penjual dapat menarik kembali,
karena status dari barang tersebut adalah sewa sehingga penjual dapat mudah
menarik kembali barangnya, keadaan ini merupakan ciri atau karakter sewa beli
yaitu syarat yang menggugurkan (verval
clausule), dimana jika terjadi wan prestasi dari pembeli, penjual dapat
menarik barang dengan mudah karena status barang adalah sewa.
Adapun
akibat dari perjanjian sewa beli, jika pembayaran macet maka perjanjian menjadi
putus dan penyewa harus mengembalikan barangnya sedangkan uang pembayaran
(angsuran) dalam jangka waktu tersebut tidak perlu di kembalikan baik sebagian
atau keseluruhan. Inilah yang di sebut verval
clausule atau syarat yang menggugurkan.
Sebagai
konsekuensi dari sewa-menyewa, verval
clausule tersebut masuk akal (rasional). Pembayaran dalam jangka waktu
sesuai dengan perjanjian sebagai tanda sewa dan tanda ini berlaku sebanding
dengan kenikmatan barang.
Pembayaran
pembelian sebagai tanda sewa tidak dapat di lakukan, karena kenikmatan
barangnya tidak dapat di kembalikan.
Adanya
verval clausule sangat merugikan
penyewa atau pembeli, hal ini di sebabkan karena antara harga pembayaran dan
kenikmatan tidak sebanding.
Bagi
pihak penjual keadaan ini sangat menguntungkan, terutama jika angsuran telah di
bayar sampai pada waktu hampir selesai pembayaran terakhir.
3) Status
uang yang telah di bayarkan pembeli kepada penjual
Sepanjang
pembeli masih mengangsur atau belum melunasi pembayaran maka uang tersebut
telah di bayarkan kepada penjual apabila terjadi wanprestasi umumnya tidak di
kembalikan meskipun barang telah di tarik.
Dengan
demikian status uang selama pembayaran angsuran di anggap hangus atau hilang
karena status barang sebagai barang yang di sewa. Di lain pihak status uang
tersebut dapat di anggap pula sebagai uang ganti rugi pemakaian atas barang
yang di nikmati kegunaannya.
Apabila
perjanjian beli sewa di konstruksikan sebagai perjanjian jual beli, maka sudah
tentu status uang tersebut sebagai uang pembayaran atas pembelian barang objek
perjanjian tersebut. Dengan demikian uang yang telah di bayarkan sebelumnya di
perhitungkan sebagai pembayaran barang namun oleh karena ternyata uang yang
sudah di bayarkan adalah sebagai uang sewa, maka dengan demikian uang tersebut
dianggap hangus dan tidak dapat diminta baik untuk sebagian maupun seluruhnya.
Hal
yang seperti ini di pandang sangat kurang memenuhi rasa keadilan karena terlalu
menguntungkan pihak penjual, sedangkan pihak pembeli sangat dirugikan.
Oleh
karena itu, sebaiknya klausula yang mengenai status uang yang seperti ini
hendaknya di tiadakan, agar tidak semata-mata merugikan pihak pembeli.
Bagi
penjual klausula tersebut di pandang sebagai perlindungan yang sangat efektif,
sebab jika status barang dalam perjanjian tidak sebagai sewa, maka penjual
sudah tidak mempunyai kekuasaan apapun terhadap barang atau dengan perkataan
lain penjual tidak memiliki hak istimewa (privilege)
sebagaimana di atur dalam pasal 1144 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa penjual
barang-barang bergerak yang masih belum di bayarkan, dapat melaksanakan hak
istimewanya atas harga pembelian barang-barang itu, jika barang-barangnya
berada di tangan si berutang tidak peduli apakah ia menjual barang-barang itu
dengan penundaan waktu atau dengan tunai.
4) Klausul
Larangan Memindahtangankan Objek Perjanjian (verreemdigs clausule)
Adanya
syarat bahwa selama masa pembayaran angsuran hak milik masih ada di tangan
penjual, mengakibatkan pembeli selama itu belum menjadi pemilik, oleh karena
itu, maka selama periode pembayaran angsuran atau selama masa mengangsur,
pembeli tidak dapat menjual atau menggadaikan atau memindah tangankan barang
(objek perjanjian) tersebut. Apabila terjadi pemindah tanganan objek perjanjian
sewa beli selama masa angsuran, maka dapat di anggap sebagai penggelapan.
Selain itu di dalam masa angsuran pembeli juga di wajibkan untuk memelihara
barang yang di belinya dan tidak boleh menyalahgunakannya ataupun mengubahnya.
Pitlo
dalam salah satu bukunya memberikan pengertian tentang sewa beli atau (huurkop), dia menyatakan bahwa beli sewa
adalah salah satu bentuk pembelian dengan pembayaran angsuran, dimana para
pihak bersepakat bahwa si penjual membatasi hak kepemilikan (walaupun
sebenarnya hak milik berpindah). Pembatasan ini dapat di buat sampai sebelum
waktu lunasnya pembayaran angsuran umpamanya sebagian dari harga penjualan
dilunasi.
Pitlo
menegaskan pendapatnya bahwa untuk sahnya suatu pranata beli sewa (huur koop) maka di perlukan sebuah akta,
baik akta otentik maupun akta di bawah tangan, tanpa akta semacam ini tidak
dapat di batalkan beli sewa, tetapi pembelian dengan pembayaran cicilan atau
jual beli dengan angsuran (koop op
afbetaling). Apabila kemudian ada perubahan atas isi akta berdasarkan
kesepakatan keduabelah pihak, maka perubahan tersebut harus pula di adakan
dengan akta.
Jika
perjanjian di buat dengan akta di bawah tangan, maka akta atas permintaan
pembeli tersebut harus di buat rangkap dua dan satu eksemplar di serahkan
kepada pembeli. Bila mana tidak di buat rangkap dua, maka penjual harus
menyerahkan copy yang otentik atau copy yang di tandatangani oleh penjual.
5) Klausul
Pemeliharaan
Dalam
kurun waktu pembayaran angsuran, maka pembeli di wajibkan untuk memelihara dan
merawat barang sebagaimana barang tersebut adalah miliknya.
Selama
keadaan pembayaran angsuran pembeli dapat menggunakan objek perjanjian dan
tidak menyewakan kepada orang lain. Selain itu si pembeli bertanggung jawab
atas keselamatan barang objek perjanjian.
Bila
suatu ketika barang yang sudah berada dalam penguasaan pembeli, musnah atau
hilang maka penjual tetap mempunyai hak untuk menuntut pembayaran atas barang
tersebut. Jika si pembeli tidak mau membayar angsuran dengan alasan barangnya
sudah tidak ada lagi, tentu si penjual berhak mengajukan gugatan ke pengadilan
dengan dasar wanprestasi.
6) Klausul
Risiko
Dalam
perjanjian beli sewa, barang sudah beralih kepada pembeli sejak penanda
tanganan kontrak, sehingga di syaratkan bahwa risiko ada pada pembeli. Dalam
kenyataannya selama masa angsuran ada penundaan peralihan hak sehingga pembeli
pada saat itu belum menjadi pemilik. Dengan ketentuan adanya suatu syarat
penundaan peralihan hak, sehingga dengan demikian seharusnya risiko tentunya
ada pada pemilik, sesuai dengan asas bahwa risiko ada pada pemilik, tetapi umumnya dalam perjanjian beli sewa
risiko dibebankan kepada pembeli sejak saat penandatanganan perjanjian.
Umumnya
dalam perjanjian beli sewa
dalam point-point yang tertuang dalam akta selalu di sebutkan bahwa risiko ada
pada pihak pembeli, karena hal tersebut sangat rasional karena sejak penanda
tanganan perjanjian barang sudah di serahkan kepada pembeli sekaligus berada
dalam penguasaannya.
Apabila
risiko di bebankan kepada penjual dengan alasan hak milik masih di tangannya
selama masa mengangsur, sedangkan barang telah di tangan pembeli, keadaan yang
demikian tentunya dapat menimbulkan kerugian pada penjual, apabila pembeli
kurang memperhatikan terhadap barang, dengan kurang pemeliharaan atau perawatan
mengakibatkan barang menjadi rusak keadaan demikian di anggap bahwa hal
tersebut sudah memberikan keuntungan bagi pembeli. Selain itu bila risiko di
bebankan kepada si penjual hal ini dapat memberikan kesempatan pada pembeli
untuk bertindak sesuka hati kepada barang atau dengan kata lain pengalihan
risiko dapat mengakibatkan rasa tanggung jawab atas pemeliharaan dan perawatan
barang menjadi berkurang, sedangkan bila risiko di bebankan kepada pembeli
tentu ia akan penuh tanggung jawab dan kehati-hatian dalam pemeliharaan dan
perawatan barang tersebut.
Dari kalangan
para ahli hukum sampai sekarang belum ada persamaan pendapat mengenai
perjanjian beli sewa.
Subekti mengatakan bahwa perjanjian beli sewa adalah suatu pengembangan dari perjanjian jual
beli, sedangkan Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa perjanjian beli sewa lebih condong pada
perjanjian sewa-menyewa.
Apabila di lihat
dari prinsip-prinsip dalam KUH Perdata, perjanjian beli sewa asalnya adalah
persetujuan sewa-menyewa dan persetujuan jual-beli yang pengaturannya telah di
atur dalam KUH Perdata. Akan tetapi kedua bentuk perjanjian tersebut kurang
dapat memenuhi kebutuhan dalam masyarakat, sehingga akhirnya timbul dengan
sendirinya dalam praktek, persetujuan yang belum di atur dalam KUH Perdata,
yakni perjanjian sewa beli. Dalam praktek, ada dua bentuk perjanjian yang
menguasai kehidupan masyarakat, yaitu perjanjian beli sewa dan perjanjian jual beli secara angsuran.[14]
Dalam perjanjian
beli sewa (huurkoop),
penjual (pemilik obyek beli sewa)
belum menyerahkan hak milik atas barang yang di jualnya kepada pembeli, selama
pembeli belum melunasi harga barang dalam jangka waktu tertentu seperti yang
telah di sepakati bersama.
Apabila selama
harga barang belum dibayar lunas, maka barang itu tetap menjadi milik penjual.
Hal ini pula yang menjadi jaminan bagi penjual bahwa pembeli tidak akan
mengalihkan barangnya kepada orang lain, karena Pasal 372 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana memberikan batasan bahwa apabila terjadi pengalihan barang yang
bukan miliknya dapat dianggap telah melakukan penggelapan. Sebaliknya dalam
perjanjian jual-beli dengan angsuran, hak milik atas barang/obyek jual beli
telah beralih dari penjual kepada pembeli bersamaan dengan dilakukannya
penyerahan barang kepada pembeli, walaupun pembayaran dapat dilakukan dengan
cara angsuran dalam jangka waktu tertentu seperti yang telah disepakati dan
ditentukan. Dengan demikian pembeli telah mempunyai hak mutlak atas obyek
jual-beli dan bebas melakukan perbuatan hukum memindah tangankan barang
tersebut kepada pihak lain. Apabila pembeli tidak melunasi cicilan harga barang
tersebut, penjual dapat menuntut pembayaran sisa hutang yang merupakan sisa
harga barang.
Dalam praktek,
pelaku usaha/penjual umumnya merasa lebih aman untuk melakukan perjanjian sewa
beli daripada melakukan perjanjian jual beli dengan cicilan. Terlebih lagi
apabila dikaitkan dengan alasan untuk mencari pembeli sebanyak-banyaknya dengan
mengutamakan segi keamanan dengan adanya jaminan yang memberikan hak kepada
penjual untuk menguasai obyek/barang sampai dilakukannya pelunasan pembayaran
atas barang tersebut oleh pembeli. Dalam hal ini penjual menuntut adanya
tanggung jawab pembeli untuk melunasi pembayaran, sebelum hak milik atas barang
tersebut beralih dari penjual kepada pembeli.
1.
Persamaan dan
perbedaan antara perjanjian beli sewa dengan jual beli
Ada
beberapa persamaan antara perjanjian beli sewa dengan perjanjian jual beli, yaitu:
a.
Beli sewa dan
jual-beli merupakan suatu perikatan yang bersumber pada perjanjian. Untuk
sahnya suatu perjanjian harus di penuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur
dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
b.
Dalam perjanjian beli sewa dan jual-beli, penjual
pada sewa beli dan jual beli mempunyai kewajiban untuk menanggung adanya
kenikmatan tenteram dan damai serta adanya cacat tersembunyi.
c.
Dalam perjanjian beli sewa dan jual-beli ada
kewajiban untuk menyerahkan suatu barang atau benda tertentu.
d.
beli sewa dan
jual-beli bertujuan untuk memperoleh dan mengalihkan hak milik.
Adapun
perbedaan-perbedaan dari perjanjian beli sewa dan perjanjian jual-beli antara lain:
a) Perjanjian
jual beli biasanya merupakan suatu perjanjian dimana pihak penjual mengikatkan
diri untuk menyerahkan hak miliknya atas barang jual-beli kepada pihak pembeli
yang berkewajiban untuk membayar harga pembelian (Pasal 1457 KUH Perdata), sedangkan
dalam perjanjian beli sewa,
pembeli diperbolehkan mengangsur atau mencicil harga barang tersebut dalam
beberapa kali angsuran dan hak milik (meskipun barang berada dalam penguasaan
pembali) tetap berada di tangan penjual.
b) Walaupun
pengaturan mengenai beli sewa belum
diatur dalam ketentuan hukum tertulis, tetapi dapat dikatakan bahwa barang sewa
beli tersebut haruslah dapat ditentukan jenis dan harganya. Hal ini berbeda
dengan perjanjian jual beli yang menentukan bahwa masing-masing pihak
diperbolehkan mengadakan perjanjian jual-beli walaupun barang yang menjadi
obyek perjanjian belum ada (Pasal 1334 Ayat (1) KUH Perdata).
c) Pengertian
penyerahan dalam perjanjian jual-beli pada umumnya adalah penyerahan nyata dan
penyerahan yuridis, sedangkan pengertian penyerahan dalam perjanjian beli sewa adalah penyerahan
nyata, dan belum penyerahan secara yuridis.
2.
Persamaan dan
perbedaan antara perjanjian beli sewa dengan jual beli secara angsuran
Antara
perjanjian beli sewa dan
perjanjian jual beli secara angsuran terdapat beberapa persamaan sebagai
berikut:
a. Pada
prinsipnya baik perjanjian beli sewa maupun
perjanjian jual-beli secara angsuran adalah suatu cara pembelian barang bukan
tunai, dimana keduaduanya tumbuh dalam praktek sehari-hari dalam masyarakat dan
belum diatur dalam KUH Perdata maupun dalam Undang-Undang lainnya.
b. Baik
perjanjian beli sewa maupun
perjanjian jual-beli secara angsuran, keduanya bertujuan untuk mendapatkan
sejumlah pembeli yang lebih banyak, dengan pembayaran harga barangnya dilakukan
secara angsuran dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
c. Menurut
Pasal 314 juncto 749 KUHD, jual beli kapal yang terdaftar dalam daftar kapal
(20 m³ atau lebih) tidak termasuk dalam perjanjian beli sewa dan perjanjian jual-beli
secara angsuran.
d. Baik
perjanjian beli sewa maupun
perjanjian jual beli dengan angsuran keduanya merupakan bentuk khusus yang
rimbul dari perjanjian jual beli biasa.
Di
samping persamaan-persamaan tersebut di atas, perjanjian beli sewa dan perjanjian jual
beli dengan angsuran memiliki beberapa perbedaan sebagai berikut:
a) Penyerahan
barang pada perjanjian beli sewa tidak
menimbulkan peralihan hak milik. Hak milik baru berpindah pada waktu dibayarnya
angsuran yang terakhir. Penyerahan hak milik di lakukan cukup dengan
menunjukkan bukti pembayaran terakhir, sebab sejak semula memang barangya sudah
di kuasai pembeli. Sedangkan pada perjanjian jual beli dengan angsuran,
penyerahan barang telah menimbulkan perpindahan hak milik atas barang kepada
pembeli walaupun uang pembayarannya belum lunas.
b) Dalam
perjanjian beli sewa,
selama pembayaran harga barang belum di lunasi maka pembeli di larang untuk
menjual atau mengalihkan hak atas barangnya kepada orang lain. Hal ini
merupakan jaminan bahwa barang tidak akan hilang atau rusak selama di kuasai
pembeli. Seandainya pembeli tidak bertanggung jawab sebagaimana mestinya atas
barang tersebut, maka pembeli dapat di anggap telah melakukan tindak pidana
penggelapan sebagaimana di atur dalam Pasal 372 KUHP. Sebaliknya, dalam perjanjian
jual beli secara angsuran, karena hak milik telah berpindah kepada pembeli
sejak di lakukannya perjanjian jual beli yang disertai dengan penyerahan barang
maka pembeli bebas melakukan perbuatan hukum apapun atas barang tersebut.
Apabila sebelum angsuran lunas barang tersebut telah berpindah tangan atau
musnah atau rusak, maka pembeli hanya dapat dituntut untuk melunasi sisa
hutangnya yang berkaitan dengan sisa pembayaran sesuai dengan tanggung
jawabnya.
c) Perjanjian
beli sewa merupakan hasil
perpaduan dari jual-beli dengan sewamenyewa. Hal ini dapat disimpulkan dari
penggunaan kata “sewa” dan “beli” (ada istilah penjual-sewa dan pembeli sewa),
sedangkan perjanjian jual-beli secara angsuran merupakan bentuk khusus dari
perjanjian jual beli biasa.
3.
Persamaan dan
perbedaan antara perjanjian beli sewa dengan sewa-menyewa
Ada
beberapa persamaan antara perjanjian beli sewa dengan sewa-menyewa, yaitu:
a. Perjanjian
beli sewa dan sewa-menyewa
merupakan suatu perikatan yang bersumber pada perjanjian dan untuk sahnya
perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yang ditentukan dalam Pasal
1320 KUH Perdata.
b. Adanya
kewajiban untuk menyerahkan barang oleh penjual pada beli sewa dan pihak yang
menyewakan dalam sewa-menyewa.
c. Penjual
dalam beli sewa dan penyewa dalam
sewa-menyewa berkewajiban untuk memelihara barang yang sudah dalam
penguasaannya sebagai bapak rumah tangga yang baik.
d. Penjual
dalam beli sewa dan pihak yang
menyewakan dalam sewa-menyewa berkewajiban untuk memberikan kenikmatan tenteram
dan damai serta tidak adanya cacat tersembunyi pada barang yang dijual pada beli sewa dan yang disewakan pada
sewa-menyewa.
Selanjutnya
perbedaan-perbedaan antara perjanjian beli sewa dengan sewa-menyewa antara lain:
a) Pengertian
sewa-menyewa hanya untuk memberi kenikmatan atas benda atau barang yang
disewakan. Oleh karena itu dalam sewa-menyewa tidak hanya pemegang hak milik
atas barang saja yang dapat menyewakan, tetapi dapat pula dilakukan oleh
pemegang hak yang lain, misalnya pemegang hak memungut hasil, sedangkan pada sewa
beli yang mempunyai tujuan untuk mengalihkan hak milik, penjual harus
benar-benar pemegang hak milik dari barang beli sewa.
b) Undang-Undang
memberi kemungkinan bentuk perjanjian sewa-menyewa di adakan secara tertulis
atau lisan, sedangkan perjanjian sewa beli menurut kebiasaan harus di lakukan
secara tertulis.
c) Risiko
dalam perjnjian sewa-menyewa di atur dalam Pasal 1553 KUH Perdata, yaitu bila
barang yang disewa itu musnah, karena suatu peristiwa di luar kesalahan salah
satu pihak, maka perjanjian sewa-menyewa batal demi hukum, dan risikonya harus
di pikul oleh pihak yang menyewakan sebagai pemilik barang atau rumah.
C. Penyelesaian
Perjanjian Tidak Bernama
1) Melihat ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat memaksa
(dwingen);
2) Melihat ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah
ditentukan oleh para pihak (isi perjanjian);
3) Melihat ketentuan-ketentuan dalam Buku III pada bagian
umum;
4) Melihat ketentuan-ketentuan khusus yang diperlakukan
secara analogis;
5) Apabila ketentuan-ketentuan diatas tidak dapat
terselesaikan, maka dapat mendasarkan pada kebiasaan-kebiasaan, kebiasaan ini
dapat dibagi 2, yaitu:
a) Pasal 1347, yaitu tentang standar klausula artinya
bahwa kebiasaan yang selamanya telah diperjanjikan;
[1] Gautama, Sudargo. Himpunan Jurisprudensi Indonesia Yang Penting Untuk Praktek Sehari-hari (Landmark Decisions) Jilid 3. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992.
[2] Subekti. 1982. Jaminan – Jaminan untuk Pemberian Kredit menurut Hukum Indonesia. Bandung
: Alumni, hlm 3.
[3] Marhais Abdul Hay. 1975. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung : Pradnya Paramita, hlm
67.
[4] Mariam Darus Badrulzaman. 1983. Perjanjian Kredit Bank. Bandung :
Alumni, hlm 11.
[5] Djuhaendah Hasan. 1996. Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda Lain yang melekat pada
Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal. Bandung :
Citra Aditya Bakti, hlm 174.
[6] Ibid, hal 174.
[7] Sutan Remy Sjahdeini. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak
dalam Perjajian Kredit Bank. Jakarta : Institut Bankir Indonesia, hlm
158 – 160.
[8] Ibid, hlm 14.
[9] Gatot Supramono, 1995. Perbankan dan Masalah Kredit, suatu Tinjauan
Yuridis. Jakarta : Djambatan, hal. 92.
[10] Bahan Kuliah Hukum Kontrak Ridwan Khairandy.
[11]Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor
34/KP/II/80 tentang perijinan beli sewa.. 01 februari 1980.
[12] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang
Persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur 1981), Halaman 65
[13] Op. Cit. Bahan Kuliah Hukum Kontrak Ridwan
Khairandy.
[14] Loc.cit. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata
tentang Persetujuan Tertentu.
[15] Bahan Kuliah Hukum Kontrak Ridwan Khairandy. Loc.
Cit
Rebat FBS TERBESAR – Dapatkan pengembalian rebat atau komisi
BalasHapushingga 70% dari setiap transaksi yang anda lakukan baik loss maupun
profit,bergabung sekarang juga dengan kami
trading forex fbsasian.com
-----------------
Kelebihan Broker Forex FBS
1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
2. FBS MEMBERIKAN BONUS 5 USD HADIAH PEMBUKAAN AKUN
3. SPREAD FBS 0 UNTUK AKUN ZERO SPREAD
4. GARANSI KEHILANGAN DANA DEPOSIT HINGGA 100%
5. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANL LOKAL
Indonesia dan banyak lagi yang lainya
Buka akun anda di fbsasian.com
-----------------
Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
Tlp : 085364558922
BBM : fbs2009
aduh warna fontnya buat sakit mata mbak/mas, sorry
BalasHapusseharusnya warna fontnya jangan hijau-_- hitam putih aja bagusnya
BalasHapus